Minggu, 18 September 2011


BELAJAR KEPEDULIAN PADA “IRFAN”
(Writed by: Titin Supriatin, S.P)

Ramadhan bulan penuh keberkahan. Sayang sekali Ramadhan telah berlalu terkejar Syawal. Kepergiannya menyisakan kesedihan di hati kita. Karena pada bulan Ramadhan lah kita saling berlomba meraih keberkahan dan ridha NYA. Berpuasa (so pasti!), shalat tarawih, tadarus Qur’an, menyediakan makanan berbuka untuk orang-orang, dan yang paling booming adalah menyantuni fakir miskin dan anak yatim. Subhanallah…semoga keberkahan mengalir pada siapa saja yang telah berhasil mengisi hari-hari di bulan itu.
Bicara tentang kepedulian pada fakir miskin dan anak yatim, tiba-tiba aku teringat peristiwa beberapa bulan yang telah lewat. Peristiwa itu terjadi pada suatu hari di sebuah pagi yang cerah. Seperti biasa aku menyiapkan murid-murid berbaris di depan kelas saat bel masuk kelas usai berdentang. Kali ini aku agak kecewa, karena tidak seperti biasanya, murid-murid kecilku masih asik duduk-duduk di kursi mereka. Ada yang bergerombol, ada juga yang duduk menyendiri. Beberapa anak saja yang sudah berdiri di depan kelas. Yang lebih membuatku “dongkol” adalah mereka tidak hanya asik duduk, tapi masing-masing mulut mereka mengulum sebatang permen kojek dengan nyamannya. Tak memperdulikan teriakanku untuk cepat keluar dan berbaris di depan kelas. Akhirnya aku bimbing tangan mereka satu persatu untuk ke luar kelas. Bayangkan! 20-an anak yang harus aku gandeng! Hh… Benar-benar sebuah ujian untuk kesabaranku…
“Ini kan gara-gara Irfan Bu… “ Seorang murid yang sudah berdiri di depan kelas sedari tadi berbisik di telingaku. Matanya mencuri pandang pada Irfan yang dengan santainya mulai ikut berbaris.
“Memangnya kenapa dengan Irfan?” Aku mulai terpropokasi. Kupandangi Irfan penuh selidik. Sosok kecil berbadan kekar itu senyum-senyum tanpa merasa berdosa. Di bahunya tersanding sebuah tas kecil yang dipasang melintang melintasi bahu dan badannya. Mirip inang-inang tukang kredit yang suka berkeliaran di pasar-pasar.
“Irfan jualan permen Bu. Lihat saja… teman-teman hampir semuanya makan permen.”
Ups…! Betul juga! Memalukan! Ini sudah keterlaluan. Pagi-pagi seharusnya murid-muridku berbaris rapih untuk kemudian membaca ikrar, citra sekolah dan berdo’a bersama. Bagaimana bisa khusyu melakukan semua itu, kalau mulut mereka tersumpal permen kojek? Permen kojek yang dijual Irfan! Hh… darahku sudah mulai naik ke kepala. Kemarahan sudah ada di ujung lidah. Tapi, Sabar Bu guru! Sebuah bisikan batin mengingatkanku. Oh, baiklah… aku akan bersabar, tapi lihat nanti di dalam kelas!
Setelah anak-anak masuk kelas aku menasehati murid-muridku bahwa tidak baik makan permen pagi-pagi. Selain merusak gigi, merusak kekhusuan baris dan persiapan belajar. Kukatakan pada mereka, aku tidak melarang mereka makan atau minum, tapi ada saat-saat tertentu hal itu tak boleh dilakukan.
“Iya nih Bu… gara-gara Irfan sih pake jualan permen segala…” Hampir separuh muridku berteriak menyalahkan Irfan. Tangan mereka menunjuk Irfan berbarengan. Irfan merengut malu. Tapi senyum masih terpasang dengan manis di wajahnya. Aku jadi tak tega. Tapi aku tetap harus mengingatkannya.
“Irfan, betul kata teman-temanmu, ibu juga tidak melarang siapa pun berjualan. Tapi ada waktu juga untuk berjualan dan barang apa yang boleh dijual. Jadi Ibu mohon kalian memahami ini. Irfan, Ibu Nanti mau bicara sama kamu!” Kataku di depan anak-anak. Suaraku yang tegas rupanya membuat Irfan gentar juga. Tanpa diminta dia bangun dari kursinya dan menghampiriku. Kemudian tas selempangnya diberikan padaku dengan takut-takut.
“Nih Bu Titin, aku kasihkan deh uang jualanku…” Aku jadi trenyuh. Tapi eit… awas, jangan-jangan ini taktik Irfan untuk menggagalkan “funishmen” yang akan aku beri untuknya.
Saat bel istirahat berbunyi, Irfan kupanggil. Kemudian aku menasehatinya kembali panjang pendek, dengan gaya bahasa yang bisa dimengerti oleh anak usia kelas 1. Irfan menatapku penuh perhatian. Setelah kuanggap Irfan mengerti apa yang aku katakan, aku tersenyum dan menyuruhnya pergi.
“Nah… sekarang kamu boleh istirahat dan boleh jualan lagi. Dan ingat, tolong jangan diulangi lagi apa yang terjadi pada pagi hari ini.”
“Baik bu, terima kasih. Tapi ehmm…, tolong hitungkan uang hasil jualanku dong Bu.” Irfan membuka tasnya kemudian mengeluarkan berlembar-lembar uang ribuan dari dalamnya. Subhanallah, banyak juga uang yang dia dapat!
“Banyak sekali uangnya Fan…Betul ini hasil jualanmu semua?” Kataku setengah tak yakin.
“Betul Bu, nanti sore uang ini aku berikan pada mamaku untuk kusumbangkan pada korban bencana alam.”
Ups! Menyumbang korban bencana alam?! Masya Allah. Sejenak aku tertegun dalam rasa kaget bercampur kagum yang luar biasa. Subhanallah… kekaguman itu mengalir deras ke pembuluh nadi dan otakku. Air mata pun tiba-tiba menetes tanpa kuminta. Dengan haru kupeluk Irfan segera.
“Betul uang ini untuk korban bencana alam anakku?” Tanyaku dalam kalimat yang terbata.
“Iya! Kata mamaku, kemarin malam rumah warga kampung sebelah perumahan elit di kawasan tempat mamaku bekerja tanahnya longsor akibat hujan deras. Jadi aku ingin membantu mereka. Kasihan kan Bu, rumah mereka hancur…”
Oh, Irfan anakku… murid kecilku yang kadang selalu ada saja ulahnya. Ternyata kali ini aku keliru besar! Maafkan bu guru ya nak! Tanpa menunggu waktu segera kukirimkan sort message kepada mamanya. Kutulis beberapa kalimat di layar telepon genggamku.
…terima kasih Ibu, sudah mempercayakan pendidikan putra ibu di sekolah kami. Ananda Irfan yang shaleh, telah membuat saya bangga dan meneteskan air mata haru pagi ini. Ananda berjualan permen dan memberikan uang hasil jualannya untuk korban bencana alam. Sebuah pelajaran kepedulian yang sederhana tapi LUAR BIASA! Yang bahkan tidak sempat terpikir oleh saya, ibu gurunya…
Sekali lagi kupeluk Irfan dan kucium pipinya, kubisikkan sebaris kalimat ini, “Subhanallah…Trima kasih Nak, kamu murid ibu yang baik. Kamu telah berikan ibu sebuah pelajaran untuk selalu peduli pada sesama!” @

(Bekasi, September 2011. Untuk murid kecilku Irfan)