Sabtu, 22 Oktober 2011

Inspirasi

IMG_0417.jpg                     Bapak Ingin …
                             (Writted by: Titin Supriatin, S.P)

Jam dinding di kantorku menunjukkan pukul 16.00.  Saatnya aku mengakhiri kerja hari ini.  Segera kukemas tasku dan bergegas menuju pintu gerbang sekolah untuk pulang.  Dari jauh aku melihat titik kecil benda bergerak mendekat ke arahku.  Perlahan titik itu membesar dan menunjukkan wujud yang makin jelas.  Apalagi sesekali terdengar suara yang teramat aku kenal dari benda bergerak itu,  “Pu… Sa..puuu “

Sebuah ide mendadak muncul di kepalaku.  Tukang sapu keliling itu mengingatkanku.  Alat-alat kebersihan di rumah sudah tidak layak lagi untuk  dipakai dan tentu saja layak untuk membeli yang baru.  Segera kudekati penjual sapu  yang sedang meneriakkan dagangannya dengan suara yang lantang : “Puuuu…. Sa puuuu…”

Penjual sapu itu ternyata sudah sangat sepuh.  Namun badannya masih terlihat kekar dan kuat.  Kulitnya legam terbakar sinar matahari.  Sorot matanya tajam namun ramah.  Terseok-seok langkahnya menarik gerobak yang sarat dengan barang-barang dagangan.  Sapu, pengki, sapu lidi, ember, bakul, dan lain-lain. Sebersit iba menyentuh hatiku.  Ya Allah… aku nggak bisa membayangkan betapa berat bapak ini membawa gerobaknya  berkeliling kampung menjajakan dagangannya dari rumah ke rumah.  Beratnya beban yang dibawa mungkin tak akan terasa jika hari itu hasil jualan yang didapat banyak.  Tapi bagaimana kalau tak ada yang membeli satu barang pun? 

Lintasan rasa empati membuatku tak berpikir dua kali. Transaksi jual beli pun terjadi.  Aku membeli beberapa barang yang kuperlukan.  Juga membeli barang-barang yang sebetulnya tidak terlalu aku perlukan.  Rasa iba tadi yang mendorongku untuk melakukannya.  Kemudian aku membayar barang-barang yang kubeli,
                “Ini  Pak uangnya, jadi berapa semuanya?”  Aku menyerahkan selembar uang limapuluh ribuan.
                “Waduh Neng, punten… nggak ada kembaliannya.  Bapak baru kaluar pisan…” Jawab si Bapak dengan logat sunda yang kental. 
                “Oh, begitu ya Pak.  Uhm… kumaha atuh, saya nggak punya uang pas lagi.”  Aku merasa tak enak juga untuk membatalkan,
                “Ia Neng, Bapak baru kaluar.  Tadi pagi habis nganter anak sekolah di pesantren.  Jadi baru balik tadi siang.  Reureuh sakedap (istirahat sebentar, red.)  terus baru Bapak jualan lagi.  Jadi belum dapat uang, nih lihat… “ Si bapak menjelaskan panjang lebar.  Terakhir dia membuka laci uangnya yang terletak menyatu di ujung gerobak.  Cuma ada beberapa lembar ribuan dan beberapa keping recehan.  Rasa iba menyentuhku kembali.
                “Uhm… baik Bapak.  Nggak apa-apa.  Kebetulan rumah saya dekat dari sini.  Kalau begitu kita ke rumah saya saja dulu.  Mudah-mudahan ada uang pas di rumah.”  Akhirnya aku mengajak si bapak ke rumah yang hanya berjarak satu blok dari sekolah tempatku mengajar.

Si bapak pun mengikutiku dari belakang.  Menyeret gerobaknya dengan penuh semangat.  Sementara pikiranku mereview ulang percakapan tadi.   Si Bapak baru berjualan sesore ini, apa ada yang masih mau beli?  Padahal baru keliling dua blok saja, pasti matahari sudah tenggelam di ujung barat sana.  Berapa uang yang bisa didapatnya hari ini?  Dan tadi, dia mengatakan keterlambatannya karena harus mengantarkan anaknya masuk pesantren.  Subhanallah…

                “Bapak maaf, putra bapak di sekolahkan di pesantren mana?   Bukankah di Bekasi banyak sekolah juga, gratis lagi Pak…”  Aku bertanya penasaran.
                “Eta Neng, di Subang.  Bapak kan memang kawit (asal) na mah dari Subang.  Di sini cuma numpang cari nafkah.  Ah, siapa bilang gratis Neng?  Tatangga Bapak sekolah di negeri juga ada saja bayarannya.  Lagi pula Bapak Ingin anak Bapak nggak Cuma pinter, tapi juga bisa ngaji.  Ibadahnya rajin, otaknya juga cerdas.  Biar kalo sudah dewasa nanti  bisa jadi ustad.  Jadi orang yang berguna untuk masarakat.  Nggak seperti Bapak yang cuma keliling bawa gerobak, capek…  Bapak teh ingin pisan Neng… biar lah bapak cari uang ke sana ke sini buat biaya anak-anak sekolah.  Biar mereka sekolah yang tinggi…  Da kerasa sama bapak, orang bodoh teh nasibnya ya seperti Bapak ini…”  Jelas si Bapak di antara nafasnya yang tersengal menarik gerobak yang berat.  Penjelasannya yang panjang dan lebar membuatku terpaku dalam keharuan.

Subhanallah.  Lewat sosok tua nya yang sederhana.  Lewat semangatnya yang tak lekang di sengat terik sinar matahari dan terpaan debu jalanan. Lewat tatap mata yang optimis memandang kehidupan masa depan.  Lewat langkah gagah menerjang badai kehidupan.  Lewat perkataan bijaknya yang mengandung harapan akan pencerahan negeri ini. Aku bisa belajar 1 hal : MIMPI  (harapan).

Tentang MIMPI, siapa pun tidak melarang untuk bermimpi.  Tidak akan ada seorang pun yang protes seindah apa kita ingin bermimpi.  Mimpi itu gratis kok!  Maka bermimpilah!  Lukiskan impian indah tentang hari ini dan esok.  Karena kehidupan tidak hanya berhenti sampai hari ini.  Masih jauh dan panjang perjalanan hidup kita ke depan.  Dengan adanya mimpi, kita punya harapan.  Kita punya cita-cita dan tujuan yang jelas.   Kita juga jadi lebih terarah menjalankan hidup.  Untuk apa hidup dan ke mana kita bermuara pada akhirnya.

Aku masih tertegun berdiri di pintu gerbang rumahku.  Bapak penjual sapu itu kembali menarik gerobak dagangannya.  Meneruskan perjalanan pencarian nafkahnya hari itu yang belum tuntas.  Suaranya yang lantang terdengar semakin sayup menjauh dariku.  Dan akhirnya tenggelam di ujung jalan sana.  Namun ada satu kalimat ucapannya yang sampai detik aku menuliskan kisah ini masih terngiang : “Bapak ingin anak Bapak menjadi orang yang pintar dan berguna untuk masyarakat Neng…”

Sebuah kalimat harapan dari seorang ayah pada anaknya.  Harapan yang aku yakini juga dimiliki oleh para ayah di seluruh pelosok penjuru dunia.  Harapan yang membuat para ayah bertahan untuk terus berusaha dan bekerja keras mencari nafkah.  Menghidupi keluarga dan membiayai pendidikan anak-anaknya sampai mereka mampu untuk mandiri dan berkarya. 

Aku menghela nafas panjang.  Kalimat “Bapak ingin…” seolah ditujukan untukku.    Aku jadi teringat wajah para murid kecilku.  Bertanya dalam benak, apakah mereka tahu dan mengerti apa yang diharapkan ayah dan ibu mereka?  Apakah mereka ikut merasakan betapa ayah dan ibu mereka bekerja keras untuk kenyamanan hidup anak-anaknya?  Apakah… Ah, aku pikir tak penting untuk menjawab pertanyaan itu.  Yang harus aku tekadkan dan catat dalam hati adalah : Jadilah motivator bagi murid-muridku, agar mereka terpacu untuk menjadi yang terbaik dalam segala hal.  Menjadi manusia yang punya manfaat bagi orang-orang di sekitar.  Membantu mewujudkan harapan dan cita-cita mereka.  Juga harapan ayah dan ibu mereka. Mendidik dan mengajar putra dan putri yang mereka amanahkan padaku.  Semoga… aku bisa penuhi harapan itu!!!  Bismillah…      

(Bekasi, 22 Oktober 2011 : untuk para ayah yang dengan ikhlas berkorban demi putra/putrinya)
 

Kamis, 20 Oktober 2011

Berbagi


Waktu dan Kreatifitas
(writed by: Titin Supriatin, S.P)

Bermula dari ketidaksengajaan.  Sabtu siang itu, sepulang dari tempat kerjaku, aku hunting buku ke Gramedia Metropolitan Mall.  Sebetulnya tidak ada niat untuk mencari buku-buku tertentu.  Ya seketemunya saja deh… buku apa yang akan ‘berjodoh’ denganku hari itu. 

Sebuah buku bercover gadis berkepala plontos sedang bertangisan dengan ayahnya menarik hatiku untuk kubeli.  Surat Kecil Untuk Tuhan, begitu judul yang tertulis.  Sudah lama juga aku penasaran dengan buku itu.  Buku yang sampai detik aku membelinya, sudah dicetak belasan kali dalam satu tahun.

Tidak puas dengan cuma sebuah buku, mataku kemudian sibuk mencari mangsa berikutnya.  Aku ingat acara workshop tentang pembuatan media belajar menggunakan program macroflash yang pernah aku ikuti.   Aku sungguh tertarik dengan program tersebut.  Sayangnya aku tidak bisa mengikutinya dengan baik karena keterbatasan pengetahuanku tentang dunia software yang satu ini.  Aku pikir, mungkin aku bisa mempelajarinya sendiri lewat buku.  Rasa penasaran segera mendorong langkahku ke arah rak berlabel ‘komputer’, sambil mataku terus memilah dan mencari, mana buku yang aku butuhkan.  Ahaaa, ini dia!   Sebuah buku tebal dengan judul sangat menggoda “Macroflash 5.6”.  Segera aku ambil dari sana.  Tapi eit… tunggu dulu!  Aku melihat ada sebuah judul yang lebih menantang lagi di sebelahnya, judulnya “Membuat Comic Strip Instan Untuk Hobi dan Profesional”  Wah…!

Dengan ‘lahap’ kubuka dan kubaca beberapa hal penting di dalamnya.  Subhanallah… ini dia  yang aku butuhkan: Membuat komik untuk presentasi, cocok sekali dengan hobbyku bercerita dan mendongeng pada anak-anak dalam proses kegiatan belajar mengajar di kelas.  Pasti kegiatan belajar kami akan lebih asik dan menarik dengan bantuan sebuah media yang menunjang.

Singkat cerita, penuh antusias aku baca buku seharga Rp. 36.900,- itu.  Aku tidak membutuhkan waktu lama untuk membaca lebih detail buku itu.   Kupikir akan lebih baik jika langsung kupraktekkan saja apa yang ditutorkan si penulis dalam bukunya, lalu…Let’s see the next, apa yang terjadi?  Jawaban singkatnya Cuma 2 kata saja : Subhanallah dan Astaghfirullah…

Subhanallah nya, karena aku merasa girang betul mendapatkan sebuah ilmu baru tentang pembuatan sebuah media belajar, yang jujur saja, masih belum banyak orang yang memanfaatkannya dalam kegiatan belajar mengajar.  Padahal jika mau, sudah demikian berkembangnya dunia informasi dan tekhnologi yang bisa kita manfaatkan untuk kemajuan kualitas pendidikan anak bangsa.  Cara pembuatannya pun saat dipraktekan begitu mudah dan menyenangkan.  Apalagi buat aku yang ngga ada basic keilmuan computer.  Hanya bermodal tekad, nekad dan keinginan kuat untuk memberikan yang terbaik dalam dunia pendidikan anak.

Astaghfirullah nya, aku jadi lupa diri dan waktu.  Aku begitu asik dengan mainan baru itu.  Aku bisa berjam-jam ber’khalwat’ dengan laptop kesayanganku.  Meng’Klak-klik’ mouse.  Mengkhayal konsep cerita (kebetulan aku seorang penghayal ulung, jadi pass pisan dan ada penyaluran).  Browsing.  Download  gambar dan lagu.  Pokoknya seruuuu abizzz!  Aku tidak peduli rasa penat letih setelah seharian direcoki murid-murid kecilku.  Aku tidak merasakan capenya digelayuti dua balitaku kanan kiri yang berebut duduk di pangkuanku saat asik berkhayal di depan computer.  Karena kemudian,  aku bisa mengakhiri kerjaku semalaman suntuk dengan kata ALHAMDULILLAH… dada berdebar saking girangnya dan rasa puas saat bisa menghasilkan sebuah karya yang baru : Komik bergambar sesuai dengan tema belajar yang akan aku sampaikan dalam kegiatan belajar dan mengajar di kelasku.  Sungguh menyenangkan!  Terbayang ekspresi murid-murid kecilku saat aku bercerita dengan bantuan cerita bergambar yang kubuat sendiri.  Dan saat itulah sebetulnya yang aku tunggu : binar bahagia  yang terpancar dari wajah-wajah mereka. 

Dari pengalaman ini, ada sebuah hal yang ingin kujadikan catatan penting bagi diriku sendiri, yaitu tentang pentingnya ‘waktu’ dan ‘kreatifitas’  bagi seorang pendidik dan pengajar sepertiku.  Bagaimana kita harus bisa memanfaatkan waktu untuk terus berkarya dan berkreatifitas positip.  Rasanya waktu tak pernah cukup andai kita bisa mengisinya dengan hal-hal baru yang bermanfaat.  Selalu ada tantangan dan rasa penasaran untuk terus membuat karya.  Apalagi aku sadar betul, bahwa WAKTU  tak pernah berhenti barang sejenak untuk rehat.  Dia terus bergulir dan berlari.  Menerjang detik, menit, jam, hari, bulan dan tahun.  Tugas kita adalah mengisinya dengan berbagai kreatifitas yang produktif.  Karya yang indah walau sederhana, bernilai positip dan terpenting bermanfaat untuk orang-orang di sekitar kita.

Karena kehidupan adalah pemisalan sebuah kegiatan melukis di atas kertas.  Kertas kehidupan kita mirip sejenis kertas tissue yang bergulung-gulung.  Panjang dan bahkan kadang kita tak tahu di mana ujungnya.  Begitu pula waktu dan kreatifitas dalam kehidupan.  Kertas itu adalah WAKTU dan kreatifitas itu adalah tintanya.  Apa jadinya, andai Allah tiba-tiba menghentikan waktu kehidupan kita, sementara kertas kehidupan itu belum kita isi atau hanya sedikit yang sudah kita lukisi dengan kreatifitas kita?  Jawaban apa yang akan kita beri pada hari di mana pertanyaan itu akan muncul : “KAU GUNAKAN UNTUK APA WAKTUMU SELAMA HIDUP???”

Wallahu’alam bissawab.  Bekasi, 20 Oktober 2011.  (Catatan kecil untuk diri : Apa pun dan siapa pun kamu, jadilah yang terbaik!)