Selasa, 23 Oktober 2012

Akulah Penjagamu

Add caption

Writted by : Titin Supriatin, SP

       Istirahat siang itu agak tak biasa.  Beberapa teman guru di ruang kantor sedang seru membicarakan sebuah kasus siswa.  Sebuah nama terdengar jelas di telingaku.  Hei, itu kan nama murid kelasku dulu?  Muridku yang terkenal sering memukul atau marah tak terkendali di kelas.  Perilaku apalagi yang  dia perbuat?

       “Dia marah besar.  Teman-teman yang ada di sekelilingnya diamuk.  Ada yang kena tendangannya, pukulannya.  Malah dia banting galon di kelas sampai airnya tumpah membanjiri lantai.”  Begitu wali kelasnya mengurai cerita.  Aku tekun menyimak.  Ada kesedihan yang merambati hatiku.  Anakku, ternyata kau masih belum pulih benar dari perilaku burukmu.

       Namanya Riko.  Saat duduk di kelas 1 SD ayahnya meninggal dunia akibat gagal jantung.  Otomatis, dia menjadi yatim kini.  Perilakunya sebenarnya baik, hanya saja saat dia marah atau tersinggung, dia sering tak bisa mengendalikan diri.  Teman-teman sekelas sering jadi korban amarahnya.  Aku jadi teringat bagaimana dulu aku selalu berusaha untuk menjaga agar emosi muridku itu tidak sampai menimbulkan bahaya buat teman sekelasnya.  Menasihatinya, memberi pengertian pada teman-temannya, bahkan sempat menegur keras saat ia tak terkendali.  Namun sesudahnya aku dinginkan kembali hatinya dengan kata-kata yang lembut dan penuh motivasi.

       Aku pun jadi teringat kembali hari itu.  Selasa, tanggal 20 Desember tahun 2011.  Hari terakhir anak-anak masuk sekolah di semester 1.  Sebelum mereka berlibur, kami para guru memberi tugas pada anak-anak untuk membuat sebuah kartu ucapan selamat hari ibu yang akan mereka berikan pada ibu mereka. 
Setelah mereka selesai, aku baca dan periksa terlebih dahulu, seperti apa ungkapan kasih sayang mereka pada ibu masing-masing. Lucu-lucu dan mengharukan.  Ada yang mengatakan, “Mama… aku sayang mama.  Selamat hari Ibu… semoga mama bahagia”  Ada juga yang menulis, “Bunda… aku sayang Bunda karena Allah…” (Aih, mengharukannya). Kalimat yang lain misalnya, “Mom, You are my everything in the world!” (Keren nya!  Pake bahasa Inggris pula).  

Yang lucu dan aneh pun ada.  Semisal, “Selamat hari Ibu Ma… jangan suka marahin aku lagi dooong…”  Haha…  Atau “Mamaku paling baiiiik di dunia.  Aku sayang Mamaku.  Tapi jangan lupa janji beliin PSP ya!”  Aha!  Kalimat yang ujungnya membuat keningku berkerut dan senyumku melebar.  Apalagi sang mama yang bakal menerima kartu itu.  Kubayangkan, pasti senyumnya hanya berbentuk garis bibir sedikit melengkung, kurang dari 5 centi.  Ah, semoga tidak ya Ma…
Sampai pada sebuah kartu sederhana.  Teramat sederhana malah.  Hiasannya biasa saja.  Polos.  Hanya ada sedikit tambahan gambar hati di  sudut kertasnya.  Tulisannya pun seperti sekumpulan huruf yang sedang menari, meliuk ke kanan dan kiri.  Namun kalimat yang dituliskannya mampu membuatku  tertegun dalam haru yang dalam.  Seperti ini untaian kalimatnya…
       “Akulah penjagamu,
       Akulah pelindungmu,
       Akulah pendampingmu,
       Di setiap langkah-langkahmu…
Ibu….”

Kalimat sederhana, yang kutau betul adalah jiplakan dari syair lagu “11 January” nya GIGI.  Bukan karya murni yang dibuat sang creator kartu itu.  Namun syair yang dijiplaknya itu bisa membuat mata orang yang membacanya menjadi berembun karena haru.  Betapa tidak?  Karena dia menuliskannya tidak lama setelah kepergian ayahnya menghadap Illahi untuk selamanya.  Namun, hari ini aku mendapati berita tak nyaman tentangnya yang kembali berlaku kasar dan tak mampu mengendalikan diri.  Ah anakku… pasti ibumu akan sangat sedih mendengar berita tentang perilakumu.

Keprihatinan dan rasa tanggung jawab membawaku padanya beberapa hari kemudian.  Aku ingat bagaimana raut wajahnya saat kunasehati dulu.  Menunduk takjim dan penuh sesal.  Aku selalu katakan padanya, “Buatlah ibumu bahagia dan bangga, buatlah ibumu tersenyum karena kebaikan sikapmu.  Buatlah ibumu yakin bahwa kamu bisa dijadikan tumpuan harapan setelah ayahmu pergi menghadap Illahi.  Buatlah ibumu yakin bahwa kamulah yang akan menjaga dan melipur hatinya saat duka dan sepi.”  

kini, aku ingin menemuinya kembali untuk mengingatkan janji kami dulu.
“Anakku, walaupun bu guru sudah bukan wali kelasmu lagi, tapi bu guru masih akan terus menyayangi dan memperhatikanmu.  Bu guru sedih mendengar perilakumu kembali kasar.”  Kataku padanya.  Tak ada jawaban sepatah pun yang keluar dari bibirnya.  Hanya pandangan mata sedih tergambar jelas dari balik kaca matanya yang berbingkai tebal.  

“Nak, berjanjilah untuk ibumu dan bu guru.  Jangan ulangi lagi tindakan seperti itu.  “Kamu ingat Nak, kamu pernah menulis sebuah kartu untuk ibumu pada hari ibu setahun yang lalu? Kamu tuliskan Akulah penjagamu, akulah pendampingmu, akulah pelindungmu, di setiap langkah-langkahmu, Ibu…”  Sambungku dengan suara bergetar. “Bu guru selalu ingat itu.  Hari ini ibu ingatkan kembali janjimu.Tolonglah, jangan buat hati ibumu terluka.  Kamu harus bisa membuatnya bangga.  Ibumu pasti sedih jika mendengarmu kembali bersikap kasar pada teman….”

Dia mengangguk.  Kami saling menatap dengan mata berkaca-kaca.  Hatiku bergetar menahan tangis. “Ibu yakin, kamu pasti bisa anakku… ibu akan berdoa untukmu!”  Tak banyak kalimat lain sesudahnya.  Aku hanya memeluk pundaknya hangat. Karena aku yakin, dia tahu betapa aku ingin memeluknya, menunjukkan kasih sayangku sebagai seorang guru, menunjukkan bahwa aku masih peduli padanya.  Aku yakin, sentuhan kasih sayang bisa mewakili ribuan kata yang tak terucap.  Aku yakin, kelembutan bisa mengalahkan kekasaran dan amarah.  Dan aku yakin marah bukanlah solusi terbaik menangani anak-anak bermasalah.  Kasih sayang dan perhatian yang tulus bisa menyentuh hati seseorang untuk bisa mengubah diri dan perilakunya.  Wallahu ‘alam bissawab.  (Bekasi, 22 Oktober 2012 catatan special untuk murid kecilku.)