Add caption |
Writted by : Titin Supriatin, SP
Istirahat siang itu agak
tak biasa. Beberapa teman guru di ruang
kantor sedang seru membicarakan sebuah kasus siswa. Sebuah nama terdengar jelas di telingaku. Hei, itu kan nama murid kelasku dulu? Muridku yang terkenal sering memukul atau
marah tak terkendali di kelas. Perilaku apalagi
yang dia perbuat?
“Dia marah besar. Teman-teman yang ada di sekelilingnya
diamuk. Ada yang kena tendangannya, pukulannya. Malah dia banting galon di kelas sampai
airnya tumpah membanjiri lantai.” Begitu
wali kelasnya mengurai cerita. Aku tekun
menyimak. Ada kesedihan yang merambati
hatiku. Anakku, ternyata kau masih belum
pulih benar dari perilaku burukmu.
Namanya Riko. Saat duduk di kelas 1 SD ayahnya meninggal
dunia akibat gagal jantung. Otomatis,
dia menjadi yatim kini. Perilakunya
sebenarnya baik, hanya saja saat dia marah atau tersinggung, dia sering tak
bisa mengendalikan diri. Teman-teman
sekelas sering jadi korban amarahnya. Aku
jadi teringat bagaimana dulu aku selalu berusaha untuk menjaga agar emosi
muridku itu tidak sampai menimbulkan bahaya buat teman sekelasnya. Menasihatinya, memberi pengertian pada
teman-temannya, bahkan sempat menegur keras saat ia tak terkendali. Namun sesudahnya aku dinginkan kembali hatinya
dengan kata-kata yang lembut dan penuh motivasi.
Aku pun jadi teringat kembali hari itu. Selasa, tanggal 20 Desember tahun 2011. Hari terakhir anak-anak masuk sekolah di
semester 1. Sebelum mereka berlibur,
kami para guru memberi tugas pada anak-anak untuk membuat sebuah kartu ucapan
selamat hari ibu yang akan mereka berikan pada ibu mereka.
Setelah mereka
selesai, aku baca dan periksa terlebih dahulu, seperti apa ungkapan kasih
sayang mereka pada ibu masing-masing. Lucu-lucu dan mengharukan. Ada yang mengatakan, “Mama… aku sayang
mama. Selamat hari Ibu… semoga mama
bahagia” Ada juga yang menulis, “Bunda…
aku sayang Bunda karena Allah…” (Aih, mengharukannya). Kalimat yang lain
misalnya, “Mom, You are my everything in the world!” (Keren nya! Pake bahasa Inggris pula).
Yang lucu dan aneh
pun ada. Semisal, “Selamat hari Ibu Ma…
jangan suka marahin aku lagi dooong…”
Haha… Atau “Mamaku paling baiiiik
di dunia. Aku sayang Mamaku. Tapi jangan lupa janji beliin PSP ya!” Aha! Kalimat
yang ujungnya membuat keningku berkerut dan senyumku melebar. Apalagi sang mama yang bakal menerima kartu
itu. Kubayangkan, pasti senyumnya hanya
berbentuk garis bibir sedikit melengkung, kurang dari 5 centi. Ah, semoga tidak ya Ma…
Sampai pada sebuah
kartu sederhana. Teramat sederhana
malah. Hiasannya biasa saja. Polos.
Hanya ada sedikit tambahan gambar hati di sudut kertasnya. Tulisannya pun seperti sekumpulan huruf yang
sedang menari, meliuk ke kanan dan kiri.
Namun kalimat yang dituliskannya mampu membuatku tertegun dalam haru yang dalam. Seperti ini untaian kalimatnya…
“Akulah penjagamu,
Akulah pelindungmu,
Akulah pendampingmu,
Di setiap langkah-langkahmu…
Ibu….”
Kalimat sederhana, yang kutau betul adalah jiplakan dari syair lagu
“11 January” nya GIGI. Bukan karya murni
yang dibuat sang creator kartu itu.
Namun syair yang dijiplaknya itu bisa membuat mata orang yang membacanya
menjadi berembun karena haru. Betapa
tidak? Karena dia menuliskannya tidak
lama setelah kepergian ayahnya menghadap Illahi untuk selamanya. Namun, hari ini aku mendapati berita tak
nyaman tentangnya yang kembali berlaku kasar dan tak mampu mengendalikan
diri. Ah anakku… pasti ibumu akan sangat
sedih mendengar berita tentang perilakumu.
Keprihatinan dan rasa tanggung jawab membawaku padanya beberapa hari
kemudian. Aku ingat bagaimana raut
wajahnya saat kunasehati dulu. Menunduk
takjim dan penuh sesal. Aku selalu katakan
padanya, “Buatlah ibumu bahagia dan bangga, buatlah ibumu tersenyum karena
kebaikan sikapmu. Buatlah ibumu yakin
bahwa kamu bisa dijadikan tumpuan harapan setelah ayahmu pergi menghadap Illahi. Buatlah ibumu yakin bahwa kamulah yang akan menjaga
dan melipur hatinya saat duka dan sepi.”
kini, aku ingin menemuinya kembali untuk mengingatkan janji kami
dulu.
“Anakku, walaupun bu guru sudah bukan wali kelasmu lagi, tapi bu
guru masih akan terus menyayangi dan memperhatikanmu. Bu guru sedih mendengar perilakumu kembali
kasar.” Kataku padanya. Tak ada jawaban sepatah pun yang keluar dari
bibirnya. Hanya pandangan mata sedih
tergambar jelas dari balik kaca matanya yang berbingkai tebal.
“Nak, berjanjilah untuk ibumu dan bu guru. Jangan ulangi lagi tindakan seperti itu. “Kamu ingat Nak, kamu pernah menulis sebuah
kartu untuk ibumu pada hari ibu setahun yang lalu? Kamu tuliskan Akulah
penjagamu, akulah pendampingmu, akulah pelindungmu, di setiap langkah-langkahmu,
Ibu…” Sambungku dengan suara bergetar.
“Bu guru selalu ingat itu. Hari ini ibu
ingatkan kembali janjimu.Tolonglah,
jangan buat hati ibumu terluka. Kamu
harus bisa membuatnya bangga. Ibumu
pasti sedih jika mendengarmu kembali bersikap kasar pada teman….”
Dia mengangguk. Kami saling
menatap dengan mata berkaca-kaca. Hatiku
bergetar menahan tangis. “Ibu yakin, kamu pasti bisa anakku… ibu akan berdoa
untukmu!” Tak banyak kalimat lain
sesudahnya. Aku hanya memeluk pundaknya
hangat. Karena aku yakin, dia tahu betapa aku ingin memeluknya, menunjukkan
kasih sayangku sebagai seorang guru, menunjukkan bahwa aku masih peduli
padanya. Aku yakin, sentuhan kasih
sayang bisa mewakili ribuan kata yang tak terucap. Aku yakin, kelembutan bisa mengalahkan
kekasaran dan amarah. Dan aku yakin
marah bukanlah solusi terbaik menangani anak-anak bermasalah. Kasih sayang dan perhatian yang tulus bisa
menyentuh hati seseorang untuk bisa mengubah diri dan perilakunya. Wallahu ‘alam bissawab. (Bekasi, 22 Oktober 2012 catatan special
untuk murid kecilku.)