Senin, 16 Maret 2015

Just Sharing what in My mind...

Deadline                                   

 (catatan kecil di akhir liburan sekolah...)
By    : Titin Supriatin, S.P


Tiga  hari lagi waktu yang tersisa!  Kutatap bola mata bundar milik anakku dengan lekat.  Tak ingin kulepas momen sesaat yang sering kulewati atau lebih tepatnya kuhindari.  Karena dengan seringnya menatap bola mata anakku yang tanpa dosa dan berharap banyak ibunya bisa hadir menemani aktivitas kesehariannya, sesering itu pula aku merasa bersalah.  Aku tak punya cukup waktu untuk sekedar menemani dan mengantarnya sampai pintu gerbang sekolah.  Hanya mengantar padahal.  Tidak harus menunggui dan menemaninya sampai waktu kepulangan.  Seperti kebanyakan temannya yang masih duduk di TK A.

Kali ini tidak.  Tak akan kulewatkan. Kutatap lagi bola mata jernihnya sebelum tubuh mungil itu hilang di balik pintu kelas.  Senyum bahagia merekah di bibirnya.  Mengundang genangan air yang tiba-tiba saja memenuhi kelopak mataku.  Duhai Rabb... tak kunyana, bahagia itu sangat sederhana.  Melihat senyum bungsuku yang manis, aku merasa bahagia.  Haru dan sedih bercampur jadi satu.  Maafkan ibu anakku. Mugkin selama ini kau begitu merindukan ibu ada di sampingmu.  Kau tak menuntut setiap waktu untuk terus bersama ibu.  Namun jujur sayang... waktu ibu memang sangat terbatas di pagi hingga sore hari.  Ibu harus bekerja.

Bersyukur, aku berprofesi sebagai guru.  Saat jeda waktu antar semester, ada waktu libur yang bisa aku manfaatkan sebaik-baiknya.  Apalagi   kali ini waktu libur sekolah tempatku mengajar berbeda dengan kebanyakan sekolah lainnya.  Termasuk sekolah anak-anakku.  Aku bisa memanfaatkan sisa waktu 3 hari ini untuk menikmati peranku yang selama ini tak sepenuhnya  mampu aku jalankan.  Bukan karena kesengajaan.  Tapi karena sebuah tuntutan dan konsekuensi pengabdian.

Seperti pagi ini, saat hari pertama anak-anakku mulai bersekolah kembali, aku bisa memandikan mereka, merapikan seragam, menyiapkan sarapan, bekal makan siang mereka, nasehat-nasehat sederhana yang sering dilakukan ibu-ibu yang lainnya di pagi hari.  Dengan kesadaran PENUH.  Tidak dengan separuh hati yang melayang ke sana ke mari.  Semisal saat memandikan, tapi hatiku berfikir di mana menyimpan seragam kerjaku, kerudung apa yang cocok kukekanakan hari ini, sepatu apa yang akan aku pakai, tugas apa yang harus kusiapkan untuk murid-muridku.  Ah... aku ada bersama aktivitas anak-anakku, tapi hatiku TIDAK.

Subhanallah. Patut kuulang ribuan kali berkah libur ini.  Aku bisa melepas anak-anakku ke sekolah dengan senyum teduh dan doa yang kubisikkan lembut di telinga mereka.  Kesyahduan indah pagi hari, yang mampu menentramkan hati anak-anakku untuk berangkat dengan ceria dan semangat yang menyala.  Kupandangi kepergian mereka dengan doa yang semoga mampu mengetuk pintu  langit tempat Rabb-ku berada,

“Duhai Allah... yang menciptakan alam semesta raya, hamba titipkan buah hati amanah-MU pagi ini dan pagi-pagi berikutnya.  Tolong jaga mereka ya Rabb... dekat ataupun jauh dari pandangan mata ini.  Jauhkan dari mara bahaya dan dari mereka yang aniaya.  Hamba menyayangi mereka, dengan segala keterbatasan ini.  Engkaulah sebaik-baik pelindung... “

Tak berlebihan jika aku ungkapan di sini, betapa aku ingin waktu yang tersisa mampu membayar hutang waktu yang seharusnya dimiliki anak-anakku.  Belajar di malam hari, mengulang pelajaran yang belum mereka pahami dengan SABAR.  Karena jujur, sering waktu yang kubayar di saat menemani mereka belajar atau bermain, adalah waktu sisa yang ada hari itu.  Dengan bumbu letih, cape, penat, dan emosi yang terbawa dari tempat kerja.  Kadang pekerjaan sekolah dan masalah masih belum sepenuhnya lepas dari pikiranku.  Hingga tak jarang anak-anakku tak terlalu bersemangat untuk mengikuti petunjuk ibunya saat mengulang pelajaran atau mengerjakan PR.  Padahal ibunya sangat berSEMANGAT untuk menuntaskan aktivitas belajar malam hari itu.  Agar segera bisa beristirahat.  Yang lebih mencemaskan, semangat yang dimaksud kadang adalah semangat penuh EMOSI (karena sudah penat) saat mengajari anak-anak. Hilang kesabaran.  Padahal saat mengajari murid-murid di sekolah, bisa begitu lembut dan sabar ruarrr biasa!

 Kesibukanku mengajar dampaknya memang tak sederhana. Telah cukup banyak peristiwa yang menjadi catatan buatku.  Bungsuku yang sering dan berani protes secara langsung berkata seperti ini, “Ibu... Ara jarang deh dianter ibu ke sekolah atau ngaji.  Temen-temen Ara mah dianter ibunya...”  Atau lain kesempatan, “Ibu... Ara mau lomba menari besok.  Ibu lihat Ara ya...”  Permintaan yang teramat sederhana.  Mengantar. Melihat.  Tak meminta barang atau mainan mahal.  Tapi aku tak sanggup memenuhinya.  Astaghfirullah...

Anak ketigaku juga sering mengeluh.  “Ibu, aku malu jalan-jalan tak ditemani ibu.  Semua ibu temanku ikut karya wisata sekolah.  Aku sama siapa?”  Atau lain peristiwa saat aku telat menjemputnya pulang sekolah, “Ibu, kok lama banget  jemput aku... aku kan sedih teman-temanku sudah pulang semua”
Anak keduaku, melakukan protes dengan gerakan tutup mulut.  Susah mengungkapkan apa yang diinginkannya.  Atau lebih tepatnya malas mungkin.  Karena beberapa keinginannya tak bisa aku penuhi.
Dan protes yang sempat membuatku teramat syok adalah, saat kutemukan catatan kecil yang ditempel sulungku di dinding kamarnya.  Bunyinya seperti ini, “Ibuku memang handal mendidik murid-muridnya, tapi tidak untuk anaknya...”
Deg.  Jantung ini serasa berhenti berdetak.  Sakit.  Sakitnya tuh bukan hanya di sini (di hati maksudnya).  Tapi di hampir seluruh persendian tubuh.  Lemas rasanya diprotes si sulung yang sudah remaja dengan diam-diam. Tak ada cukup waktu kah untuk mereka mengungkapkan perasaan dan keinginan mereka.  Padahal aku merasa sudah memberikan cukup waktu dan kesempatan untuk mereka bicara.  Astaghfirullah.

Tinggal 3 hari lagi!!!  Aku harus bergegas dan menciptakan moment yang tak akan pernah bisa dilupakan anak-anakku. Sederet rencana untuk 3 hari ke depan sudah kususun rapi.  Kucatat apa saja yang akan aku lakukan untuk menemani dan hadirkan hati bersama mereka. Saat tekun menulis catatan-catatan kecilku, tiba-tiba....  Kling.  Nada pengingat di ponselku berbunyi.  Sebuah pesan masuk. 
“Assalamualaikum  Bu Titin.  Aku kangen ibu deh.  Sebentar lagi aku sidang Bu.  Doain ya Bu...”
Subhanallah.... dari Fida Thahirah, murid kelasku belasan tahun lalu.  Saat ini tengah menyelesaikan tahun terakhirnya di Fakultas kedokteran UGM.  Masih menyempatkan diri berkirim pesan.  Walau bertahun tlah lewat, komunikasi kami masih terjaga.  Menghadirkan dimensi waktu dan tempat yang tak berbatas. 

Air mataku menitik.  Rasa haru menyeruak ke permukaan.  Terbayang masa kebersamaan kami dulu.  Belajar membaca, menulis, berhitung.  Tertawa, sedih, marah, jengkel, bercerita dan bermain bersama.  Ah, anakku... pastinya ibu akan mendoakanmu.  Sebagaimana janji bu guru pada kalian dulu.  Agar kalian, murid-murid ibu, bisa menjadi orang-orang berguna untuk masyarakat.  Menjadi manusia-manusia yang jauh lebih hebat dari bu guru. 

Sebuah dilema.  Antara pekerjaan dan tugas sebagai seorang ibu sekaligus guru.  Tak mungkin kulepas kedua peran itu untuk saat ini.  Aku masih diberikan Allah waktu dan kesempatan untuk berkarya.  Berbagi ilmu, empati, kasih sayang, keberadaan diri.  Di hadapan anak-anak dan murid-murid sekolahku.  Dunia yang tak sanggup aku tinggalkan.  Sungguh, menjadi seorang pendidik adalah cita-cita yang tak kan pernah mati.  Walau mungkin, aku tak sepenuhnya mampu menjalankan amanah untuk selalu bersama anak-anakku di rumah .  Karena aku yakin, Allah berikan tangan-NYA yang Maha Kuat untuk menjaga anak-anakku.  Hingga mereka tumbuh dan mandiri dibanding teman-teman yang lainnya.  Semoga mereka memahami peran ibunya yang tak sederhana.  Mereka pun rela untuk berbagi perhatian dan kasih sayang ibunya dengan anak-anak lain.  Sebagaimana, beberapa kali aku mengatakan dan berpesan pada mereka,

            “Anak-anakku, mohon maafkan ibu.  Semoga keikhlasan ibu mendidik dan mengajar murid-murid di sekolah.  Melayani telpon, sms atau kunjungan orang tua  mereka yang menyita waktu kebersamaan kita, berbalik menjadi amalan dan pahala yang terus mengalir dan memberkahi kehidupan kita.  Kalian semua akan jauh lebih mandiri, sabar, cerdas dan mampu menghadapi masalah dengan tenang.  Ibu yakini itu.  Allah akan senantiasa bersama kita....”

Kututup catatan kecil hari ini dengan sebuah janji.  Janji sederhana di tahun baru.  Tahun 2015.  Aku ingin membuat sebuah resolusi baru dalam hidupku.  Memanfaatkan waktu semaksimal mungkin untuk anak-anak dan muridku.  Kalaulah aku tahu deadline liburku tinggal 3 hari ini, namun aku tak pernah tahu, kapan Allah tetapkan waktu untukku hidup di dunia ini.  Hitungan detikkah, menitkah, jamkah, bulan atau tahun?  Aku tak tahu kapan deadline hidupku.  Yang ingin kulakukan adalah membuat anak-anak dan muridku tahu, bahwa aku akan bersungguh-sungguh menjadi ibu dan guru sebagaimana yang mereka harapkan.  Dengan segala keterbatan yang ada padaku.  Wallahu alam bissawab.

(Karawang, 5 Januari 2015.  Untuk anak-anakku yang hebat : Teh Fida Amatullah, a Abdullah Azzam, a Abdullah Miqdad dan Zhafira Zara Amatullah...terima kasih sudah mau mengerti dan berbagi waktu untuk murid-murid ibu...)