(catatan kecil di akhir
liburan sekolah...)
By : Titin Supriatin, S.P
Tiga hari lagi waktu
yang tersisa! Kutatap bola mata bundar
milik anakku dengan lekat. Tak ingin
kulepas momen sesaat yang sering kulewati atau lebih tepatnya kuhindari. Karena dengan seringnya menatap bola mata
anakku yang tanpa dosa dan berharap banyak ibunya bisa hadir menemani aktivitas
kesehariannya, sesering itu pula aku merasa bersalah. Aku tak punya cukup waktu untuk sekedar
menemani dan mengantarnya sampai pintu gerbang sekolah. Hanya mengantar padahal. Tidak harus menunggui dan menemaninya sampai
waktu kepulangan. Seperti kebanyakan
temannya yang masih duduk di TK A.
Kali ini tidak. Tak
akan kulewatkan. Kutatap lagi bola mata jernihnya sebelum tubuh mungil itu
hilang di balik pintu kelas. Senyum
bahagia merekah di bibirnya. Mengundang
genangan air yang tiba-tiba saja memenuhi kelopak mataku. Duhai Rabb... tak kunyana, bahagia itu sangat
sederhana. Melihat senyum bungsuku yang
manis, aku merasa bahagia. Haru dan
sedih bercampur jadi satu. Maafkan ibu
anakku. Mugkin selama ini kau begitu merindukan ibu ada di sampingmu. Kau tak menuntut setiap waktu untuk terus
bersama ibu. Namun jujur sayang... waktu
ibu memang sangat terbatas di pagi hingga sore hari. Ibu harus bekerja.
Bersyukur, aku berprofesi sebagai guru. Saat jeda waktu antar semester, ada waktu
libur yang bisa aku manfaatkan sebaik-baiknya.
Apalagi kali ini waktu libur
sekolah tempatku mengajar berbeda dengan kebanyakan sekolah lainnya. Termasuk sekolah anak-anakku. Aku bisa memanfaatkan sisa waktu 3 hari ini
untuk menikmati peranku yang selama ini tak sepenuhnya mampu aku jalankan. Bukan karena kesengajaan. Tapi karena sebuah tuntutan dan konsekuensi
pengabdian.
Seperti pagi ini, saat hari pertama anak-anakku mulai
bersekolah kembali, aku bisa memandikan mereka, merapikan seragam, menyiapkan
sarapan, bekal makan siang mereka, nasehat-nasehat sederhana yang sering
dilakukan ibu-ibu yang lainnya di pagi hari.
Dengan kesadaran PENUH. Tidak
dengan separuh hati yang melayang ke sana ke mari. Semisal saat memandikan, tapi hatiku berfikir
di mana menyimpan seragam kerjaku, kerudung apa yang cocok kukekanakan hari
ini, sepatu apa yang akan aku pakai, tugas apa yang harus kusiapkan untuk
murid-muridku. Ah... aku ada bersama
aktivitas anak-anakku, tapi hatiku TIDAK.
Subhanallah. Patut kuulang ribuan kali berkah libur
ini. Aku bisa melepas anak-anakku ke
sekolah dengan senyum teduh dan doa yang kubisikkan lembut di telinga
mereka. Kesyahduan indah pagi hari, yang
mampu menentramkan hati anak-anakku untuk berangkat dengan ceria dan semangat
yang menyala. Kupandangi kepergian
mereka dengan doa yang semoga mampu mengetuk pintu langit tempat Rabb-ku berada,
“Duhai Allah... yang menciptakan alam
semesta raya, hamba titipkan buah hati amanah-MU pagi ini dan pagi-pagi
berikutnya. Tolong jaga mereka ya
Rabb... dekat ataupun jauh dari pandangan mata ini. Jauhkan dari mara bahaya dan dari mereka yang
aniaya. Hamba menyayangi mereka, dengan
segala keterbatasan ini. Engkaulah
sebaik-baik pelindung... “
Tak berlebihan jika aku ungkapan di sini, betapa aku ingin
waktu yang tersisa mampu membayar hutang waktu yang seharusnya dimiliki
anak-anakku. Belajar di malam hari,
mengulang pelajaran yang belum mereka pahami dengan SABAR. Karena jujur, sering waktu yang kubayar di
saat menemani mereka belajar atau bermain, adalah waktu sisa yang ada hari
itu. Dengan bumbu letih, cape, penat,
dan emosi yang terbawa dari tempat kerja.
Kadang pekerjaan sekolah dan masalah masih belum sepenuhnya lepas dari
pikiranku. Hingga tak jarang anak-anakku
tak terlalu bersemangat untuk mengikuti petunjuk ibunya saat mengulang
pelajaran atau mengerjakan PR. Padahal
ibunya sangat berSEMANGAT untuk menuntaskan aktivitas belajar malam hari
itu. Agar segera bisa beristirahat. Yang lebih mencemaskan, semangat yang
dimaksud kadang adalah semangat penuh EMOSI (karena sudah penat) saat mengajari
anak-anak. Hilang kesabaran. Padahal
saat mengajari murid-murid di sekolah, bisa begitu lembut dan sabar ruarrr biasa!
Kesibukanku mengajar dampaknya
memang tak sederhana. Telah cukup banyak peristiwa yang menjadi catatan buatku. Bungsuku yang sering dan berani protes secara
langsung berkata seperti ini, “Ibu... Ara jarang deh dianter ibu ke sekolah
atau ngaji. Temen-temen Ara mah
dianter ibunya...” Atau lain kesempatan,
“Ibu... Ara mau lomba menari besok. Ibu
lihat Ara ya...” Permintaan yang teramat
sederhana. Mengantar. Melihat. Tak meminta barang atau mainan mahal. Tapi aku tak sanggup memenuhinya. Astaghfirullah...
Anak ketigaku juga sering mengeluh. “Ibu, aku malu jalan-jalan tak ditemani
ibu. Semua ibu temanku ikut karya wisata
sekolah. Aku sama siapa?” Atau lain peristiwa saat aku telat
menjemputnya pulang sekolah, “Ibu, kok lama banget jemput aku... aku kan sedih teman-temanku
sudah pulang semua”
Anak keduaku, melakukan protes dengan gerakan tutup
mulut. Susah mengungkapkan apa yang
diinginkannya. Atau lebih tepatnya malas
mungkin. Karena beberapa keinginannya
tak bisa aku penuhi.
Dan protes yang sempat membuatku teramat syok adalah, saat
kutemukan catatan kecil yang ditempel sulungku di dinding kamarnya. Bunyinya seperti ini, “Ibuku memang handal
mendidik murid-muridnya, tapi tidak untuk anaknya...”
Deg. Jantung ini
serasa berhenti berdetak. Sakit. Sakitnya tuh bukan hanya di sini (di hati
maksudnya). Tapi di hampir seluruh
persendian tubuh. Lemas rasanya diprotes
si sulung yang sudah remaja dengan diam-diam. Tak ada cukup waktu kah untuk
mereka mengungkapkan perasaan dan keinginan mereka. Padahal aku merasa sudah memberikan cukup
waktu dan kesempatan untuk mereka bicara.
Astaghfirullah.
Tinggal 3 hari lagi!!!
Aku harus bergegas dan menciptakan moment yang tak akan pernah bisa
dilupakan anak-anakku. Sederet rencana untuk 3 hari ke depan sudah kususun
rapi. Kucatat apa saja yang akan aku
lakukan untuk menemani dan hadirkan hati bersama mereka. Saat tekun menulis
catatan-catatan kecilku, tiba-tiba.... Kling. Nada pengingat di ponselku berbunyi. Sebuah pesan masuk.
“Assalamualaikum Bu Titin.
Aku kangen ibu deh. Sebentar lagi
aku sidang Bu. Doain ya Bu...”
Subhanallah.... dari Fida Thahirah, murid kelasku belasan
tahun lalu. Saat ini tengah
menyelesaikan tahun terakhirnya di Fakultas kedokteran UGM. Masih menyempatkan diri berkirim pesan. Walau bertahun tlah lewat, komunikasi kami
masih terjaga. Menghadirkan dimensi
waktu dan tempat yang tak berbatas.
Air mataku menitik. Rasa
haru menyeruak ke permukaan. Terbayang
masa kebersamaan kami dulu. Belajar
membaca, menulis, berhitung. Tertawa,
sedih, marah, jengkel, bercerita dan bermain bersama. Ah, anakku... pastinya ibu akan
mendoakanmu. Sebagaimana janji bu guru
pada kalian dulu. Agar kalian,
murid-murid ibu, bisa menjadi orang-orang berguna untuk masyarakat. Menjadi manusia-manusia yang jauh lebih hebat
dari bu guru.
Sebuah dilema. Antara
pekerjaan dan tugas sebagai seorang ibu sekaligus guru. Tak mungkin kulepas kedua peran itu untuk
saat ini. Aku masih diberikan Allah
waktu dan kesempatan untuk berkarya.
Berbagi ilmu, empati, kasih sayang, keberadaan diri. Di hadapan anak-anak dan murid-murid sekolahku. Dunia yang tak sanggup aku tinggalkan. Sungguh, menjadi seorang pendidik adalah
cita-cita yang tak kan pernah mati.
Walau mungkin, aku tak sepenuhnya mampu menjalankan amanah untuk selalu
bersama anak-anakku di rumah . Karena
aku yakin, Allah berikan tangan-NYA yang Maha Kuat untuk menjaga
anak-anakku. Hingga mereka tumbuh dan
mandiri dibanding teman-teman yang lainnya.
Semoga mereka memahami peran ibunya yang tak sederhana. Mereka pun rela untuk berbagi perhatian dan
kasih sayang ibunya dengan anak-anak lain.
Sebagaimana, beberapa kali aku mengatakan dan berpesan pada mereka,
“Anak-anakku,
mohon maafkan ibu. Semoga keikhlasan ibu
mendidik dan mengajar murid-murid di sekolah.
Melayani telpon, sms atau kunjungan orang tua mereka yang menyita waktu kebersamaan kita,
berbalik menjadi amalan dan pahala yang terus mengalir dan memberkahi kehidupan
kita. Kalian semua akan jauh lebih
mandiri, sabar, cerdas dan mampu menghadapi masalah dengan tenang. Ibu yakini itu. Allah akan senantiasa bersama kita....”
Kututup catatan kecil hari ini dengan sebuah janji. Janji sederhana di tahun baru. Tahun 2015.
Aku ingin membuat sebuah resolusi baru dalam hidupku. Memanfaatkan waktu semaksimal mungkin untuk
anak-anak dan muridku. Kalaulah aku tahu
deadline liburku tinggal 3 hari ini, namun aku tak pernah tahu, kapan Allah
tetapkan waktu untukku hidup di dunia ini.
Hitungan detikkah, menitkah, jamkah, bulan atau tahun? Aku tak tahu kapan deadline hidupku. Yang ingin kulakukan adalah membuat anak-anak
dan muridku tahu, bahwa aku akan bersungguh-sungguh menjadi ibu dan guru
sebagaimana yang mereka harapkan. Dengan
segala keterbatan yang ada padaku.
Wallahu alam bissawab.
(Karawang, 5 Januari 2015.
Untuk anak-anakku yang hebat : Teh Fida Amatullah, a Abdullah Azzam, a
Abdullah Miqdad dan Zhafira Zara Amatullah...terima kasih sudah mau mengerti
dan berbagi waktu untuk murid-murid ibu...)