BOLA...
(Catatan kecil, Coaching Clinic U12, Stadion Pakansari
Bogor, 25 Desember 2016)
By : Bunda Ara
Bola.
Benda dengan bentuk bulat itu telah mengusikku tuk bicara. Bukan karena masih hangatnya ingatanku akan
pertandingan final antara timnas Indonesia melawan Thailand. Bukan pula karena rasa nasionalismeku
seketika bangkit kalau sudah bicara tentang bola di tanah air. Bukan juga untuk mengingat dan membahas
kekalahan timnas di final piala AFF kemarin. Bukan. Tidak sama sekali.
Kali ini aku ingin bicara tentang bola dan kedua
putraku, Abdullah Azzam dan Abdullah Miqdad.
Walaupun keduanya laki-laki, bukan berarti mereka penggila bola seperti lelaki
pada umumnya. Ketertarikan mereka akan
bola dan segala perbincangan tentang bola aku bilang sih berada di level
1. Level terendah yang kalau mau
dianalogikan dengan rasa keripik Ma Icih atau ayam Labaik mah ga ada
pedas-pedasnya acan.
Jauh berbeda dengan kakak sulung mereka, Fida
Amatullah. Putriku yang sudah duduk di bangku kuliah semester 3 memasuki
semester 4 itu malah penggila bola.
Menuruni ketertarikan dan hobi ibunya. Kalau sudah bicara tentang bola, matanya
langsung berbinar. Lancar pula berkicau tentang para pemainnya. Terutama pemain bola profesional, seperti
Cristian Ronaldo, Baloteli, Mezut Ozil, dan sederet nama lainnya. Bahkan di kampusnya, gadisku itu tergabung
dalam anggota barisan team futsal sastra Arab UI. Gkgkgkgk... ga nahan
untuk tidak ketawa.
Berbekal ketertarikan dan keinginan untuk
menularkan kegemaran ibu dan kakak perempuan mereka, aku coba menanamkan rasa
ketertarikan Azzam dan Miqdad pada bola.
Bukan karena ingin ikut trend gila bola, namu lebih pada nilai
yang ingin aku tanamkan pada kedua putraku.
Aku berharap nilai-nilai positip pada permainan bola akan menjadi
kekuatan karakter mereka. Kemampuan bekerja sama, supportif, kreatif, dinamis,
sabar dan ulet, punya kemampuan berstrategi, memiliki insting yang kuat, dan
tentu saja berbadan sehat. Nilai-nilai
itulah yang akan menjadi landasan
perilaku bersikap mereka dalam kehidupan masa depan. Selain tentu saja, yang
utama adalah agar mereka punya kegiatan positif bersama teman seusia mereka. Dari pada main game dengan gadget seharian,
atau ikut gerombolan para “Om Telolet Om” di pinggir jalan tol. Oh, tidaaaak...
Menjelang akhir kegiatan sekolah, seorang teman
guru menawarkan program Coaching Clinic U-12. Acaranya bertajuk “Bogor
Grassroots Festival U-12” bersama Indra Syafri, ex Coach TIMNAS U-19 & Bali
United. Aku lihat pamletnya terpajang di
mading sekolah. Tentu saja aku tertarik
berat. Wow... batinku. Coacher nya kan
idolaku. Bangga betul andai putraku bisa
ikut bersama teman-teman seusianya berlatih bersama pelatih yang aku
kagumi. Di stadion yang beberapa waktu
lalu dipakai untuk final piala AFF pula.
Pasti akan banyak pengalaman berharga yang ia dapatkan. Siapa tahu pula kegemaran bermain game di tab
nya akan terkalahkan oleh keasyikan menendang si kulit bundar di lapangan. Bukankah bermain bola lebih manusiawi dan
humanis dibanding ‘nguplek’ dengan
gadget ? Karena dengan bermain bola
putraku akan bertemu dengan banyak teman dan para pelatih yang hebat. Juga tubuhnya akan banyak bergerak, berlari,
melompat, berguling, menyundul, menendang. Gerak tubuh yang masih sangat
diperlukan untuk membantunya tumbuh kembang pada masa usianya.
Sempat terjadi pergulatan batin menjelang
keberangkatan. Antara percaya putraku
mau ikut atau tidaknya. Keraguan itu
berdasar pada tak adanya ketertarikan ia pada bola. Sesekali sih ikut main juga dengan
teman-teman di sekitar rumah. Tapi
frekuensinya, hampir bisa dibilang sangat rendah, alias sesekali saja. Namun dorongan yang bertubi dari rekan sesama
guru membuatku akhirnya mengambil keputusan untuk memberangkatkan putraku
Miqdad. Walau dengan setengah memaksa,
karena sempat terjadi penolakan dengan alasan, aku ga suka main bola buuu. Aku kan ga punya kostum bola, kaos kakinya,
apalagi sepatunya. Aku Cuma punya
kakinya doang. Tolaknya sambil masih sempat becanda di ujung wajah
memelasnya. Plisss... begitu mungkin
kuterjemahkan isyarat di matanya.
No. Tidak
sayang. Kamu harus mencobanya dulu. Kamu pasti akan suka deh. Kamu pasti akan
bertemu dengan banyak teman di sana. Dan
tentu saja, bertemu pelatih idola ibu (hihihi...). Dapat kostum dan bolanya juga loh...Ikut yaaa...
berangkat yaaa. Nanti ibu susul ke
tempat latihan deh, walau jauh di Bogor
sana. Nanti ibu kasih hadiah. Beneran.
Ciusss. Ujarku sambil mengeluarkan jurus terampuh seorang ibu pada
anaknya, Sebuah pelukan dan senyum manis.
Bener juga. Manjur. Miqdad akhirnya mau ikut coaching bersama teman-temannya yang ikut tergabung
dalam team futsal ALAZKA 41.
Alhamdulillah.
Memenuhi janji untuk menyusulnya di tempat
latihan, akhirnya aku berdiri juga di antara sekitar dua ratusan para orang tua
dan guru pendamping. Di jejeran bangku
tribun timur, aku amati putraku dengan bangga, sekaligus cemas. Kulihat semua
peserta coaching memakai sepatu dan kaos kaki bola. Mata mereka berbinar bangga dengan tangan
masing-masing memeluk sebuah bola berwarna oranye bertuliskan SPEC. Wow.
Bergetar rasanya dada ini. Haru
merambati dada. Namun, ketika mata ini
tertuju pada wajah putraku dan penampilannya, cemas dan kalut tiba-tiba saja
merenggut rasa bangga tadi. Duuuh, Cuma
anakku yang tak mengenakan sepatu bola dan kaos kakinya... kaos kaki keseharian yang ia pakai saat
sekolah. Itu yang dia khawatirkan dari
awal. Malu karena aku berbeda. Saat itu aku bujuk dengan alasan, tak apa
kok... kan kamu cuma mengamati saja, tak usah ikut bermain.
Sebagai bentuk permohonan maaf dan memotivasi
dia, dari atas tribun aku meneriakkan namanya.
Berharap ia menoleh dan akan mendapatkan ketenangan setelah tahu ibu dan
saudaranya ada di stadion. Anakku
tersenyum. Ketegangan mencair di
wajahnya. Pelahan ia mulai enjoy. Walau sesekali masih kulihatnya mencari-cari
keberadaan kami. Kulambaikan tangan tiap
ia melihat ke arah kami. Sampai akhirnya
ia benar-benar bisa berbaur dengan teman dan pelatihnya. Dan tentu saja bersama coacher idolaku, Pak
Indra Syafri, yang sudah berada di tengah mereka.
Tak lama aku berada di stadion. Karena satu hal, aku harus segera pulang ke
Karawang. Kutinggalkan putraku dengan
tenang. Berharap ia bisa menikmati
pengalaman hari itu dengan gembira. Berharap
di hari-hari berikutnya ia hanya akan bicara tentang bola dan sibuk bermain
bola di sekolah maupun di sekitar rumah bersama temannya. Walau jujur, masih tersisa galau dan tak
nyaman saat mengingat betapa seperti terpaksanya ia mengikuti kegiatan
coachingnya hari itu. Bisakah ia
menendang bola, bisakah berlari menyerang, bisakah bertahan dari serangan bola
lawan, dan kecamuk negatif lainnya di kepala. Belum lagi memikirkan rasa minder
yang dipikulnya sedari awal. Anakku
memang tidak berminat dan bukan anggota team futsal sekolah. Ah, sudahlah...Tak
ada yang mubazir kok. Pasti selalu ada
hikmah dan pelajaran yang didapat dari setiap peristiwa. Begitu aku menghibur diri.
Menjelang isya, guru pendamping putraku menelpon.
Mengabari bahwa mereka sudah tiba di Karawang.
Aku meminta putraku, Azzam untuk menjemput. Segudang tanya dan harap sudah berpendar di
benakku. Bagaimana pengalaman anakku
hari ini. Menyenangkan kah, atau
sebaliknya? Apakah ia bisa mengikuti
rangkaian coaching tadi atau sebaliknya?
Sempatkah ia berfoto dengan pak Indra? Hehehe... slalu saja deh!
Derit pintu pagar membuyarkan lamunanku. Aku
sudah siap dengan senyum terindah untuk menyambut putraku. Bahkan adiknya, Ara, dari sore sudah
menyiapkan sebuah hadiah dari lukisan manik yang ia buat sendiri. Tak kudengar salam ceria seperti jika ia
pulang dari masjid usai shalat magrib.
Kulihat mukanya murung tak bergairah.
Assalamualaikum, sapanya hampir tak terdengar. Waalaikum salam. Hai ganteng, gimana acara coachingnya, seru
kan? Sapaku riang. Ia tak bergeming. Terduduk lemas di lantai dengan wajah sembab,
seperti baru bangun dari tidur, atau menangis kah? Ups!
Gawat. Ada apa gerangan?
Kamu kenapa sayang? Kok kelihatan sedih. Tanyaku penuh empati. Kudekati dan kurangkul bahunya lembut. Tadi ga seru, bisiknya menahan tangis. Loh,
memang kenapa? Kali ini kuping dan mata kupasang penuh. Siap mendengar semua keluhannya.
Aku tadi payah banget. Ga bisa bawa bola, tendanganku lemah, ga bisa
menahan serangan lawan. Ada bola aja aku
malah takut dan menghindar. Aku
dinasehati, disuruh berlatih lebih giat lagi di rumah. Celoteh putraku. Wajahnya memelas menahan
tangis. Aduh, pasti kamu sedih dong ya sayang? Tanyaku semakin penuh empati. Kasihan sekali anakku. Rupanya coaching tadi telah
membebaninya.
Ga apa-apa.
Ibu ga marah kok kamu tidak pandai main bola. Cuma, ibu berharap, kamu
punya kegiatan yang jauh lebih baik dibanding main game terus. Main game kan
bisa membuat otot-otot tubuh kamu beku.
Diam terus di tempat. Mata kamu juga bisa rusak kena radiasi cahaya
tablet. Makanya ibu ikutkan kamu di
coaching. Jangan marah yaa... ibu janji
tak akan memaksa kamu lagi. Tapi kamu juga janji, jangan terus bermain game. Panjang lebar kunasehati anakku. Kutatap bola matanya yang masih belum hidup
dalam gairah kanaknya seperti biasa. Aku memeluknya erat dan lama. Mencoba
mengalirkan pesan maaf yang dalam lewat bahasa tubuh. Aku tak bisa berkata-kata
lagi. Rasa iba sekaligus merasa bersalah
karena telah memaksanya ikut sesuatu yang tak ia sukai membuat mataku
berkaca-kaca.
Jangan katakan aku berlebihan. Mungkin apa yang
telah aku perbuat pada anak-anakku memang sudah benar. Namun, bisakah aku sempatkan diri meraba
kedalaman hatinya? Kalo memang dia tak
suka bola, kenapa mesti aku paksakan.
Masih banyak kegiatan alternatif lain yang bisa aku jadikan referensi
dan ia sukai tentu saja. Berenang,
bersepeda, memanah, berkuda, naik pohon, main petak umpet, dan segudang
permainan lain yang bisa dilakukannya. Tinggal bagaimana kita sebagai orang tua
bisa menemani, mengarahkan dan memotivasi agar mereka merasa diterima dan
dihargai keberadaaanya.
Sekali lagi, bukan sekedar trend atau mengikuti
gaya jaman. Tapi lebih pada sejauh mana
apa yang dilakukan anak punya nilai dan manfaat untuk tumbuh kembang mereka di
masa datang. Lahir dan bathin
sekaligus. Hingga mereka merasa bahagia
dan selalu bersyukur atas apa yang mereka dapat. Sekecil dan sesederhana apa pun bentuknya. Wallahu
alam bissawab. (Karawang, 27 Desember 2016, thanks a lot for my loving friends,
who always support me ... )