Senin, 26 Desember 2016




        BOLA...

              (Catatan kecil, Coaching Clinic U12, Stadion Pakansari                      
               Bogor, 25 Desember  2016)                       
               By : Bunda Ara

Bola.  Benda dengan bentuk bulat itu telah mengusikku tuk bicara.  Bukan karena masih hangatnya ingatanku akan pertandingan final antara timnas Indonesia melawan Thailand.  Bukan pula karena rasa nasionalismeku seketika bangkit kalau sudah bicara tentang bola di tanah air.  Bukan juga untuk mengingat dan membahas kekalahan timnas di final piala AFF kemarin. Bukan.  Tidak sama sekali.

Kali ini aku ingin bicara tentang bola dan kedua putraku, Abdullah Azzam dan Abdullah Miqdad.  Walaupun keduanya laki-laki, bukan berarti mereka penggila bola seperti lelaki pada umumnya.  Ketertarikan mereka akan bola dan segala perbincangan tentang bola aku bilang sih berada di level 1.  Level terendah yang kalau mau dianalogikan dengan rasa keripik Ma Icih atau ayam Labaik mah ga ada pedas-pedasnya acan

Jauh berbeda dengan kakak sulung mereka, Fida Amatullah. Putriku yang sudah duduk di bangku kuliah semester 3 memasuki semester 4 itu malah penggila bola.  Menuruni ketertarikan dan hobi ibunya. Kalau sudah bicara tentang bola, matanya langsung berbinar. Lancar pula berkicau tentang para pemainnya.  Terutama pemain bola profesional, seperti Cristian Ronaldo, Baloteli, Mezut Ozil, dan sederet nama lainnya.  Bahkan di kampusnya, gadisku itu tergabung dalam anggota barisan team futsal sastra Arab UI. Gkgkgkgk... ga nahan untuk tidak ketawa.

Berbekal ketertarikan dan keinginan untuk menularkan kegemaran ibu dan kakak perempuan mereka, aku coba menanamkan rasa ketertarikan Azzam dan Miqdad pada bola.  Bukan karena ingin ikut trend gila bola, namu lebih pada nilai yang ingin aku tanamkan pada kedua putraku.  Aku berharap nilai-nilai positip pada permainan bola akan menjadi kekuatan karakter  mereka.  Kemampuan bekerja sama, supportif, kreatif, dinamis, sabar dan ulet, punya kemampuan berstrategi, memiliki insting yang kuat, dan tentu saja berbadan sehat.  Nilai-nilai itulah yang  akan menjadi landasan perilaku bersikap mereka dalam kehidupan masa depan. Selain tentu saja, yang utama adalah agar mereka punya kegiatan positif  bersama teman seusia mereka.  Dari pada main game dengan gadget seharian, atau ikut gerombolan para “Om Telolet Om” di pinggir jalan tol.  Oh, tidaaaak...

Menjelang akhir kegiatan sekolah, seorang teman guru menawarkan program Coaching Clinic U-12. Acaranya bertajuk “Bogor Grassroots Festival U-12” bersama Indra Syafri, ex Coach TIMNAS U-19 & Bali United.  Aku lihat pamletnya terpajang di mading sekolah.  Tentu saja aku tertarik berat. Wow... batinku.  Coacher nya kan idolaku.  Bangga betul andai putraku bisa ikut bersama teman-teman seusianya berlatih bersama pelatih yang aku kagumi.  Di stadion yang beberapa waktu lalu dipakai untuk final piala AFF pula.  Pasti akan banyak pengalaman berharga yang ia dapatkan.  Siapa tahu pula kegemaran bermain game di tab nya akan terkalahkan oleh keasyikan menendang si kulit bundar di lapangan.  Bukankah bermain bola lebih manusiawi dan humanis   dibanding ‘nguplek’ dengan gadget ?  Karena dengan bermain bola putraku akan bertemu dengan banyak teman dan para pelatih yang hebat.  Juga tubuhnya akan banyak bergerak, berlari, melompat, berguling, menyundul, menendang. Gerak tubuh yang masih sangat diperlukan untuk membantunya tumbuh kembang pada masa usianya. 

Sempat terjadi pergulatan batin menjelang keberangkatan.  Antara percaya putraku mau ikut atau tidaknya.  Keraguan itu berdasar pada tak adanya ketertarikan ia pada bola.  Sesekali sih ikut main juga dengan teman-teman di sekitar rumah.  Tapi frekuensinya, hampir bisa dibilang sangat rendah, alias sesekali saja.  Namun dorongan yang bertubi dari rekan sesama guru membuatku akhirnya mengambil keputusan untuk memberangkatkan putraku Miqdad.  Walau dengan setengah memaksa, karena sempat terjadi penolakan dengan alasan, aku ga suka main bola buuu.  Aku kan ga punya kostum bola, kaos kakinya, apalagi sepatunya.  Aku Cuma punya kakinya doang. Tolaknya sambil masih sempat becanda di ujung wajah memelasnya.  Plisss... begitu mungkin kuterjemahkan isyarat di matanya.

No.  Tidak sayang.  Kamu harus mencobanya dulu.  Kamu pasti akan suka deh. Kamu pasti akan bertemu dengan banyak teman di sana.  Dan tentu saja, bertemu pelatih idola ibu (hihihi...).  Dapat kostum dan bolanya juga loh...Ikut yaaa... berangkat yaaa.  Nanti ibu susul ke tempat latihan deh, walau jauh di Bogor  sana.  Nanti ibu kasih hadiah.  Beneran.  Ciusss. Ujarku sambil mengeluarkan jurus terampuh seorang ibu pada anaknya, Sebuah pelukan dan senyum manis.  Bener juga.  Manjur.  Miqdad akhirnya mau ikut coaching  bersama teman-temannya yang ikut tergabung dalam team futsal ALAZKA 41.  Alhamdulillah.

Memenuhi janji untuk menyusulnya di tempat latihan, akhirnya aku berdiri juga di antara sekitar dua ratusan para orang tua dan guru pendamping.  Di jejeran bangku tribun timur, aku amati putraku dengan bangga, sekaligus cemas. Kulihat semua peserta coaching memakai sepatu dan kaos kaki bola.  Mata mereka berbinar bangga dengan tangan masing-masing memeluk sebuah bola berwarna oranye bertuliskan SPEC.  Wow.  Bergetar rasanya dada ini.  Haru merambati dada.  Namun, ketika mata ini tertuju pada wajah putraku dan penampilannya, cemas dan kalut tiba-tiba saja merenggut rasa bangga tadi.  Duuuh, Cuma anakku yang tak mengenakan sepatu bola dan kaos kakinya...  kaos kaki keseharian yang ia pakai saat sekolah.  Itu yang dia khawatirkan dari awal.  Malu karena aku berbeda.  Saat itu aku bujuk dengan alasan, tak apa kok... kan kamu cuma mengamati saja, tak usah ikut bermain.

Sebagai bentuk permohonan maaf dan memotivasi dia, dari atas tribun aku meneriakkan namanya.  Berharap ia menoleh dan akan mendapatkan ketenangan setelah tahu ibu dan saudaranya ada di stadion.  Anakku tersenyum.  Ketegangan mencair di wajahnya.  Pelahan ia mulai enjoy.  Walau sesekali masih kulihatnya mencari-cari keberadaan kami.  Kulambaikan tangan tiap ia melihat ke arah kami.  Sampai akhirnya ia benar-benar bisa berbaur dengan teman dan pelatihnya.  Dan tentu saja bersama coacher idolaku, Pak Indra Syafri, yang sudah berada di tengah mereka.

Tak lama aku berada di stadion.  Karena satu hal, aku harus segera pulang ke Karawang.  Kutinggalkan putraku dengan tenang.  Berharap ia bisa menikmati pengalaman hari itu dengan gembira.  Berharap di hari-hari berikutnya ia hanya akan bicara tentang bola dan sibuk bermain bola di sekolah maupun di sekitar rumah bersama temannya.  Walau jujur, masih tersisa galau dan tak nyaman saat mengingat betapa seperti terpaksanya ia mengikuti kegiatan coachingnya hari itu.  Bisakah ia menendang bola, bisakah berlari menyerang, bisakah bertahan dari serangan bola lawan, dan kecamuk negatif lainnya di kepala. Belum lagi memikirkan rasa minder yang dipikulnya sedari awal.  Anakku memang tidak berminat dan bukan anggota team futsal sekolah. Ah, sudahlah...Tak ada yang mubazir kok.  Pasti selalu ada hikmah dan pelajaran yang didapat dari setiap peristiwa.  Begitu aku menghibur diri.

Menjelang isya, guru pendamping putraku menelpon. Mengabari bahwa mereka sudah tiba di Karawang.  Aku meminta putraku, Azzam untuk menjemput.  Segudang tanya dan harap sudah berpendar di benakku.  Bagaimana pengalaman anakku hari ini.  Menyenangkan kah, atau sebaliknya?  Apakah ia bisa mengikuti rangkaian coaching tadi atau sebaliknya?  Sempatkah ia berfoto dengan pak Indra? Hehehe... slalu saja deh!

Derit pintu pagar membuyarkan lamunanku. Aku sudah siap dengan senyum terindah untuk menyambut putraku.  Bahkan adiknya, Ara, dari sore sudah menyiapkan sebuah hadiah dari lukisan manik yang ia buat sendiri.  Tak kudengar salam ceria seperti jika ia pulang dari masjid usai shalat magrib.  Kulihat mukanya murung tak bergairah.  Assalamualaikum, sapanya hampir tak terdengar.  Waalaikum salam.  Hai ganteng, gimana acara coachingnya, seru kan?  Sapaku riang.  Ia tak bergeming.  Terduduk lemas di lantai dengan wajah sembab, seperti baru bangun dari tidur, atau menangis kah?  Ups!  Gawat.  Ada apa gerangan?

Kamu kenapa sayang?  Kok kelihatan sedih.  Tanyaku penuh empati.  Kudekati dan kurangkul bahunya lembut.  Tadi ga seru, bisiknya menahan tangis. Loh, memang kenapa?  Kali ini kuping dan  mata kupasang penuh.  Siap mendengar semua keluhannya. 

Aku tadi payah banget.  Ga bisa bawa bola, tendanganku lemah, ga bisa menahan serangan lawan.  Ada bola aja aku malah takut dan menghindar.  Aku dinasehati, disuruh berlatih lebih giat lagi di rumah.  Celoteh putraku. Wajahnya memelas menahan tangis.   Aduh, pasti kamu sedih dong ya sayang?  Tanyaku semakin penuh empati.  Kasihan sekali anakku.  Rupanya coaching tadi telah membebaninya. 

Ga apa-apa.  Ibu ga marah kok kamu tidak pandai main bola. Cuma, ibu berharap, kamu punya kegiatan yang jauh lebih baik dibanding main game terus. Main game kan bisa membuat otot-otot tubuh kamu beku.  Diam terus di tempat. Mata kamu juga bisa rusak kena radiasi cahaya tablet.  Makanya ibu ikutkan kamu di coaching.  Jangan marah yaa... ibu janji tak akan memaksa kamu lagi. Tapi kamu juga janji, jangan terus bermain game.  Panjang lebar kunasehati anakku.  Kutatap bola matanya yang masih belum hidup dalam gairah kanaknya seperti biasa. Aku memeluknya erat dan lama. Mencoba mengalirkan pesan maaf yang dalam lewat bahasa tubuh. Aku tak bisa berkata-kata lagi.  Rasa iba sekaligus merasa bersalah karena telah memaksanya ikut sesuatu yang tak ia sukai membuat mataku berkaca-kaca.

Jangan katakan aku berlebihan. Mungkin apa yang telah aku perbuat pada anak-anakku memang sudah benar.  Namun, bisakah aku sempatkan diri meraba kedalaman hatinya?  Kalo memang dia tak suka bola, kenapa mesti aku paksakan.  Masih banyak kegiatan alternatif lain yang bisa aku jadikan referensi dan ia sukai tentu saja.  Berenang, bersepeda, memanah, berkuda, naik pohon, main petak umpet, dan segudang permainan lain yang bisa dilakukannya. Tinggal bagaimana kita sebagai orang tua bisa menemani, mengarahkan dan memotivasi agar mereka merasa diterima dan dihargai keberadaaanya.


Sekali lagi, bukan sekedar trend atau mengikuti gaya jaman.  Tapi lebih pada sejauh mana apa yang dilakukan anak punya nilai dan manfaat untuk tumbuh kembang mereka di masa datang.  Lahir dan bathin sekaligus.  Hingga mereka merasa bahagia dan selalu bersyukur atas apa yang mereka dapat.  Sekecil dan sesederhana apa pun bentuknya. Wallahu alam bissawab. (Karawang, 27 Desember 2016, thanks a lot for my loving friends, who always support me ... ) 

Sabtu, 24 Desember 2016


Bross
Catatan kecil Jum’at Siang,23 Desember 2016                                                                                                                      By : Bunda Ara

Kupandangi benda itu dengan seksama.  Tingkat respect di awal sebenarnya bernilai 6.  Tak ada keinginan untuk membelinya. Apalagi memakainya.  Bukan karena bros itu jelek. Bagus sih.  Menarik dan anggun aku kira.  Pasti teman-teman guru akan berdecak kagum untuk membeli lalu memakainya. 
Kupandangi kembali bros berhias tiga helai bulu burung halus itu.  Kupilih warna coklat agar tak terlalu mencolok. Ukurannya yang besar, membuat aku pasti merasa tak akan nyaman memakainya.  Tak pede gitu loh...Padahal bros itu bentuk utamanya sih bunga.  Bunga yang terbuat dari rajutan pita kecil, kemudian diberi hiasan tambahan beberapa payet dan 3 helai bulu burung.  Hadeuuuuh... kebayang, betapa hebohnya dandananku dengan kerudung berhias bros seperti itu.
Namun entah kenapa, ada kekuatan besar yang kali ini mengalahkan egoku untuk HARUS memakainya.  HARUS.  Loh... Why... kunaon...bukankah kamu terbiasa untuk tak menarik pandangan mata orang di sekitarmu, dengan berusaha berdandan sesuai porsi dan kelayakan.  Bros mungil, itu yang kamu suka kan?
Hihi...Kali ini egoku harus kulawan.  Bros itu sungguh membuatku terinspirasi.  Aku jadi ingin mengingat kembali kronologis bros itu hingga sampai di tanganku.
Aku ingat betul, siang itu hampir 3 jam aku terpanggang sinar matahari.  Menyusuri jalan seputar kota  Karawang bersama seorang sahabat.  Walau terik, kami jalani saja semua dengan santai dan obrolan ringan.  Membawa missi dan pesan beberapa teman yang ingin dibelikan makan siang.  Hingga akhirnya kami mampir ke warung nasi langgananku untuk menyelamatkan cacing  di perut kami yang sudah meronta kelaparan. 
Saat selesai membayar makanan yang kami beli dan belum sempat kubalikkan badan menuju pintu keluar, seorang laki-laki masuk membawa tas dan langsung menawarkan kami beberapa barang di tangannya.  Bros-bros lucu dengan ukuran “raksasa”.
Wow...Sesaat aku terpana.  Ragu antara ingin langsung menolak namun tak tega.  Apalagi saat kudengar ia menawarkan dagangannya dengan antusias, tanpa suara.  Hanya beberapa kata yang tak jelas aku dengar.  Sambil sesekali tangannya bergerak memberi isyarat harga.  Ups... pada titik inilah haruku membuncah...Masya Allah... ternyata pedagang bros ini seorang disable.  Ia  tuna rungu dan tuna wicara.
Aku tertunduk sejenak dalam sesak menahan tangis.  Maaf, aku memang perasa banget.  Baperan begitu menurut sahabat dekatku.  Akhirnya, sesaat setelah membenahi perasaan haruku, dengan antusias aku pilih beberapa bros dalam tas yang dibawa laki-laki itu.  Aduh, agak lama aku memilih. Karena jujur, aku kurang suka dengan ukuran, warna dan bentuknya yang tak sesuai dengan gaya keseharianku.  Aku mungil dan tak ingin mencolok.  Terpilihlah hanya satu bros.  Satu saja.  Dengan pandangan menyesal aku membelinya. Andai saja bisa, aku ingin memborongnya dan kubagikan kepada teman-temanku... Ah, maafkanlah...
Namun sungguh,tak ada ekspresi memelas di wajah laki-laki itu. Dengan senyum bahagia dia menerima uangnya.  Lalu pergi menjauh setelah kuucap kata terima kasih.  Kuhantar kepergian laki-laki itu dengan desah nafas berat.  Ya Allah... selalu saja aku merasa tak tega, sekaligus bangga. Mungkin aku terlalu berlebihan yaa... sampai tak tahan rasanya untuk menuliskannya dalam sebuah catatan, yang jujur banget sudah lama tak kulakukan.  Kali ini aku HARUS melakukannya. Menulis apa yang aku rasakan, dan membagikannya pada kalian.
Aku berharap, tulisan ini mampu membangkitkan semangat untuk berbuat lebih baik. Belajar ketegaran pada seseorang yang memiliki keterbatasan. Ternyata keterbatasan tak menjadikannya diam dan menunggu belas kasihan. Keterbatasan membuatnya bergerak dan mencari jalan. Keterbatasan membuatnya rela melakukan hal positif  untuk bertahan hidup.  Keterbatasan membawanya pada sebuah keteladanan hidup bagi orang di sekelilingnya.   Tanpa ia sadari, ia telah menginspirasiku.
Kini aku merasa bangga memakai bros itu.  Dengan menyematkan bros itu pada kerudungku, aku akan mengingat siapa penjualnya. Mengingat bagaimana semangatnya ia dalam menjajakan barang dagangannya.  Mengingat cara ia menawarkan barang dengan suara tak jelas dan bahasa isyarat yang coba kupahami. 

Subhanallah... isyarat yang ia berikan, agar aku bisa setegar ia menjalani hari-hari. Tak harus malu dan rendah diri.  Apa yang aku alami sekarang masih jauh lebih baik dari yang ia hadapi.  Aku masih memiliki indra yang baik dan komunikasi yang sempurna.  Seharusnya aku lebih kuat dan tegar dibanding ia. Dan yang lebih harus aku renungkan adalah, seberapa besar perhatian aku dan kita pada mereka.  Seberapa banyak kita sudah peduli akan keberadaannya.  Bantu mereka untuk bangkit dan percaya diri... dengan respect dan penghargaan yang sama seperti yang kita lakukan pada manusia normal lainnya.Wallahu alam bissawab....@ bunda.ara J