Kaus Lurik Abdullah
(sebuah Cerita pendek : Titin Supriatin, S.P)
Bismillah.
Di
sudut pertigaan jalan menuju pintu gerbang keluar pondok, beberapa santri putra
berkerumun. Terdengar percakapan serius yang makin jelas saat kumendekat. Dalam diam, kucoba merekam percakapan mereka
dengan seksama.
“Sudah
bosen aku ingatkan dia, tetap saja ndak ada perubahan.” Salah seorang
dari mereka berujar dengan semangat.
“Beta
juga sama. Sudah berkunang-kunang
rasanya mata beta melihat dia memakai kaus itu.
Lusuh. Kekecilan. Dan…”
“Bau!!!” Kompak keempat santri lain dalam kerumunan
itu melengkapi kalimat santri yang menamakan dirinya “Beta”
“Begitu
kan Sir?” Santri berambut keriting kecil
di sebelah si “Beta” menegaskan.
“Ya
akhi Hasan. Tapi kadang Beta iba melihat
dia sering murung sendirian. Kalau tak ada rasa kasian itu, sudah Beta teriakin
supaya dia buang kaus itu. Beta ga kuat
baunya.” Si Beta yang bernama Nasir itu
mengeluarkan uneg-unegnya makin menggebu.
“Jangankan
kamu Sir, aku sing ndak sekamer sama dia saja geli setiap melihatnya ke
masjid pakai kaus itu.” Joko, santri bersarung kotak-kotak yang sedari tadi
diam seribu Bahasa, ikut menimpali.
“Sepertinya
ini tidak bisa didiamkan. Tapi,
bagaimana caranya ya?” Cecep, santri
paling ganteng dan alim di antara mereka berdiri dan menangkupkan kedua
tangannya di dada, berfikir keras mencari cara.
Siapa
yang sedang mereka bicarakan ini, fikirku.
Aku sengaja berhenti dan duduk tak jauh dari para santriku
berkerumun. Sebuah pohon beringin
berkayu raksasa mampu menyembunyikan tubuh kurusku dari pandangan mereka. Keseruan dan keseriusan perbincangan mereka
telah menyita Sebagian besar perhatian.
Hingga keberadaanku tak mereka sadari.
“Hey,
tuh…tuh…tuh kan, dia pakai kaus itu lagi!” Bima, santri bertubuh paling besar,
tiba-tiba berseru dan menunjukkan jarinya ke arah masjid. Jarak masjid dan tempat mereka berdiri cukup
mampu meredam riuhnya suara mereka dari seorang santri yang sedang mereka amati
dan perbincangkan.
Reflek
aku mengikuti ujung jari Bima. Mataku
menangkap sosok kecil Abdullah, santri berkaus lurik, yang sedang melangkah ke
arah masjid. Ada haru yang sedari dulu selalu hinggap, setiap aku melihat
Abdullah. Entah kenapa. Aku belum begitu mengenalnya. Dia santri kelas XI. Aku hanya mengenalnya sekilas.
“Subhanallaah…
ndak nyadar apa dia ya. Kaus
itu sudah ndak pantas
dipakai. Lusuh banget jeh!”
Kusno, santri asal Cirebon yang paling vocal di antara teman-temannya Kembali
berkomentar sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tanda prihatin.
“Iya
ya. Saya mah da ga faham
masalahnya. Tiba-tiba kalian ngumpul
ngajak saya ke sini. Ternyata gegara ini.?”
Udin santri berkaos hitam yang bertuliskan “Pejuang Subuh” di bagian depan dadanya
tersenyum kecut.
“Kamu
kan yang sering ngobrol sama dia
Din. Makanya kami ajak kamu diskusi,
untuk bantu nasehatin agar dia ndak pakai kaus itu lagi. Bukan apa-apa. Kami ndak betah sama baunya. ”
“Hadeuh…
Pekerjaan berat ini!” Udin menepuk jidatnya.
Semua yang berdiri menatap Udin penuh harap. “Pliss lah Din… “ Mereka berseru kompak. Beberapa diantaranya menepuk Pundak Udin,
seolah menitipkan amanah itu di bahunya. Hhhh… hanya desis yg keluar dari bibir
Udin. Matanya dilempar jauh ke arah
puncak gunung Ciremai yang berjarak hanya berapa kilo dari bangunan pondok
pesantrennya berdiri, seolah ingin memanggil seribu kekuatan makhluk di puncak
sana untuk bisa membantu meringankan beban fikirannya.
#1#
Sudah
cukup lama aku menjadi bagian dari guru pendamping di asrama boarding ini. Barisan Asatidz, begitu kira-kira istilahnya.
Berbagai model santri silih berganti aku
bimbing dan bina. Dari model yang sangat mandiri sampai santri yang
bawaannya ‘homesick’ alias ingin kabur saja dari pondok, karena tidak terbiasa
hidup jauh dari keluarga. Namun mendapati sosok Abdullah, aku langsung
tercenung sendiri. Ada sesuatu yang
menarik dari santri satu ini, semenjak aku menemukan sosoknya termenung
sendirian tepat di bawah jendela masjid utama pondok yang kokoh berdiri di
tengah area Kawasan pesantren.
“Antum
tidak bergabung dengan yang lain, Kak?” Sapaku saat itu, kugerakkan kepala
mengarahkan pandangan ke sekumpulan santri yang sedang bermain futsal di
lapangan tak jauh dari masjid.
“Tidak
Ustad.” Jawab Abdullah singkat, dengan
tatapan mata senyum, tetap menunjukkan rasa hormat. Terlihat jelas santri satu ini pemalu dan
introvert.
“Wah,
kenapa? Bukankah seru main futsal?” Kugeser duduk sedikit merapat ke arahnya.
“Kurang
suka Ustad. Ana tidak pandai menendang
bola.”
“oo,
antum lebih senang membaca buku rupanya ya, dan … apa itu, buku agenda atau
diari? Ahaaa… pasti antum suka menulis
juga ya.” Tebakku, saat kulihat ada dua buku tebal di pangkuan Abdullah. Satu buku novel Islami dan satunya buku tulis
batik tebal. Bertuliskan Catatan Harian.
Abdullah
hanya menjawab dengan senyum tersipu.
Senyum
itulah yang akhirnya sering kudapati, saat aku berpapasan dengan Abdullah. Dan tentu saja ucapan salam dan cium tangan
takjim, sebagai sebuah tradisi pondok saat berpapasan dengan para asatidz. Pelit sekali kalimat Panjang keluar dari
bibir Abdullah. Tidak hanya padaku, tapi
pada hampir semua penghuni Kawasan pondok pesantren Insan Madani ini. Jarang
aku melihat Abdullah terlibat percakapan seru dengan sesama santri. Dapat kuhitung, berapa banyak Abdullah
tertawa dan berkumpul dengan kawan-kawannya.
Dan, satu hal lagi, Abdullah kerap sekali memakai kaus lurik berwarna
hitam putih dan kuning. Jauh lebih
sering kulihat itu ketimbang melihatnya bicara, tersenyum atau berkegiatan
lainnya. Dan sekalinya kudapati ia
ngobrol dengan temannya, pasti kaus yang dia pakai selalu sama, Kaus lurik
hitam putih kuning. Hingga sering
kudengar para santri memanggilnya si kaus lurik. Astaghfirullah. Semoga itu bukan bentuk bullying di
lingkungan pondok. Karena kulihat
Abdullah seakan tak peduli. Dia pandai
menyembunyikan segala perasaan di balik wajah diamnya.
Pernah
kutanya dengan sedikit bercanda pada Abdullah, mengapa ia gemar sekali memakai
kaus lurik itu. Abdullah hanya menjawab
dengan senyum tipis, lalu menunduk.
Sempat kulihat berkas kesedihan di tatapan matanya. Namun aku tak memahami apa maknanya.
Akhirnya aku
mencoba mereka-reka berbagai kemungkinan.
Apakah ia tak punya banyak kaus di pondok? Apa ia berasal dari kalangan keluarga tak mampu,
sehingga harus mengirit barang yang dimiliki? Ah, pasti bukan seperti itu. Aku pernah melihat keluarga Abdullah
berkunjung ke pondok, berkendaraan mobil Honda Jazz, yang pasti harganya tidak
murah. Pastinya juga, orang tua Abdullah
mampu membelikan putranya baju mahal sekalipun.
Apa ia
memiliki selusin kaus dengan motif yang sama?
Ah, masa iya. Kenapa kalau memang
ia punya banyak kaus dengan motif sama, teman-teman sekamarnya banyak yang
mengeluhkan bau tak sedap kaus itu. Pertanda
kaus itu jarang dicuci!
#2#
Sabtu sore itu seperti biasa, para santri kelas X dan kelas XI
diberikan kebebasan untuk melakukan kegiatan bebas. Bada ashar mereka punya waktu untuk melakukan
kegiatan yang mereka sukai. Ada yang
Latihan memanah. Ada yang bermain futsal. Ada yang bermain volli. Ada yang lebih suka menghafal Qur’an atau
baca buku di teras masjid. Para Asatidz
juga tidak selamanya harus ketat mengawasi mereka, karena pada dasarnya
kehidupan pondok pesantren dibangun dan diciptakan untuk mendidik generasi
mandiri. Sebagian Asatidz memilih pulang
ke rumah mereka, bagi yang tinggal tak jauh dari pondok.
Aku, tentu saja lebih memilih berada di lingkungan asrama bersama
para santriku. Selain karena rumahku
jauh di ujung timur pulau Jaw asana, menurutku, Sabtu sore adalah hari paling
menarik untuk melakukan kegemaranku, menulis!
Menulis apa saja yang menarik perhatianku. Dan, di sinilah aku menemukan banyak hal
menarik untuk aku tulis. Setiap hal
kecil bukanlah hal remeh temeh buatku.
Malah sebaliknya, hal-hal kecil dan sederhana bisa menumbuhkan rasa
kagum dan menakjubkan bagiku. Kekaguman
itu seringkali mendorongku untuk menyimpannya dalam sebuah tulisan, dan semoga saja tulisanku bisa memberikan
inspirasi dan motivasi untuk orang lain.
“Berhenti! Abdullah…
Hei!!!”
Suara teriakan dari arah lapangan basket, tak jauh dari tempatku duduk
membuyarkan monolog hatiku. Bergegas
mataku mencari sumber suara. Seorang
santri berkaus lurik berlari tertatih, diikuti 2 santri yang mengejar dengan
wajah kesal dan putus asa.
“Abdullah, tunggu…dengarkan kami dulu. Tolonglah!”
Berpasang wajah menatap mereka tak mengerti. Apalagi saat Abdullah mulai makin mempercepat
larinya, bahkan sempat para santri yang memperhatikan adegan itu mendengar
suara isakan tangis Abdullah.
“Ustad, afwan… ada apa dengan mereka?” Seorang santri
menghampiriku dengan tatap mata yang penasaran.
“Ya, ada apa dengan mereka ya?”
Bukannya menjawab, aku bertanya balik.
Aku memang belum faham apa yang terjadi.
“Abdullah menangis Ustad!”
Sambung santriku, “Baru kali ini aku mendengar seorang santri SMA
menangis di pondok, dengan suara yang terdengar cukup keras.”
“Kamu yakin dia menangis, Hasan?” tanyaku terkejut.
“Ya, kalau Ustad tidak percaya, boleh tanyakan pada Didi dan
Junet.” Hasan melempar pandangannya ke arah jalan, di mana tadi Abdullah
berlari sambal menangis disaksikan oleh kedua temannya yang lain.
“Baiklah, Ana akan tanyakan apa masalahnya pada Udin dan
Kusno. Sepertinya mereka tau.” Bergegas aku menghampiri Udin dan Kusno, yang
kini menghentikan pengejaran mereka.
Wajah mereka Nampak putus asa.
“Ada apa Kus, Din?” Tanyaku
tenang. Kuhampiri dua santri teman
sekamar Abdullah itu.
“Biasa Tad, Abdullah, masalah lagi. Cape kami menasehatinya.” Udin menekur lesu, nafasnya tersengal dan berat
menahan kesal dan cape.
“Iya Tad, tadi kami mengajaknya diskusi tentang kaus lurik yang
sering dipakainya. Kami semua sudah tak
tahan.” Kusno menjelaskan terbata, ada
rasa takut di ujung suaranya yang memelan.
“Trus…” Aku menunggu dengan sabar penjelasan itu selesai.
“Dia diam seribu kata. Diam benar-benar diam.”
“AKhirnya kami berlima yang sekamar dengannya bicara semua.”
Sambung Udin. Matanya menantap nanar
jalanan yang tadi dilewati Abdullah berlari.
“Lalu…” Aku bertanya dengan nada mulai tak sabar kini.
“Dia tetap diam Tad. Diam
benar-benar diam.” Kusno mengulang jawabannya.
“Tapi kenapa kemudian Abdullah berlari sambal menangis tadi? Kalian apakan?!” Tanyaku dengan nada mulai meninggi.
“Si Dadang tak sabar, dan mengguncang-guncang badannya. Leher kaus Abdullah dicengkeram dan ditarik
berkali-kali dengan geram.” Suara Udin mulai bergetar. Ada nada sesal di sana.
“Astaghfirullah…. “
Tanpa menunggu waktu, aku bergegas menelusuri jalan yang tadi
dilalui Abdullah. Aku akan menyusulnya. Aku tahu hatinya begitu peka dan mudah
terluka. Tetiba, berkelebatan kenangan
di kepalaku dengan cepat. Berdenging
rasanya hati ini. Bayangan masa kecilku
terlintas seketika. Beberapa wajah teman
masa kecilku bergantian hadir di kepala.
Serupa hantu menyeringai dan mengejekku.
Gema tawa mereka memekakkan telinga.
Tidak!!! Aku harus menolong Abdullah!
Setelah
bertanya pada beberapa santri di sepanjang jalan, akhirnya aku menghentikan langkah
di tepi sebuah danau, di mana kesunyian adalah satu-satunya teman di situ. Ya, danau tak jauh dari pondok tempat kami
beraktivitas. Danau itu dulu seringkali
dikunjungi para santri untuk melepas lelah dan penat belajar dan menghafal
Qur’an. Memancing atau sekedar melihat
keelokan pemandangannya di senja hari.
Karena di saat itulah, kita bisa melihat bayangan matahari yang akan
tenggelam di ujung barat bumi. Namun, semenjak peristiwa tenggelamnya seorang
anak kecil yang bermain di danau, semua kenyamanan dan keindahan itu lenyap
dimakan cerita negative yang beredar.
Danau menjadi sepi dan sunyi.
Aku memperlambat langkah.
Dari jauh, kulihat Abdullah terduduk di tepi danau. Bersila membelakangi aku yang mulai
mendekat. Bahunya berguncang menahan
tangis. Sesekali kudengar ia terisak. “Ayah… ayah…” sayup-sayup aku mendengar ia
memanggil ayahnya.
Mendengar
ia memanggil ayah berkali-kali, tak terasa, air mata deras mendesak dan
meluncur dari mataku. Bayangan masa
kecilku melintas lagi. Bayangan yang
sekuat mungkin aku usir tiap ia hadir.
Tapi kali ini aku tak mampu lagi membendung dan bahkan membunuhnya. Aku berlari mendekat Abdullah. Penuh iba segera kurangkul bahunya yang
berguncang. Tak peduli kaus luriknya
menyengat hidungku dengan nyata. Aku
terisak bersamanya. Aku menangis bersama
Abdullah. Ya Rabb… aku menangis!
Setelah puas kami menangis.
Isakan Abdullah mulai memelan dan akhirnya terdiam.
“Menangislah jika itu membuat hatimu lega, Abdullah.” Bisikku sambil tetap merangkul pundaknya.
“Alhamdulillah, sudah cukup Ustad.
Ana sudah lega.”
Aku
melonggarkan pelukan. Abdullah beringsut
merubah posisi duduknya, berhadapan denganku.
Matanya sembab dan masih berkaca-kaca merah.
“Trima kasih ustad. Ustad
mau menemani ana di sini.”
Bisiknya. Tangannya menyeka
butiran air yang masih tersisa di matanya.
“Kalau antum sudah tenang, bolehkah Ustad mendengar cerita yang
sebenarnya, yang menyebabkan antum menangis, Kak?” Tanyaku penuh empati.
“Ana malu Ustad. Ana
cengeng sekali.” Abdullah tertunduk. Andai dia menatapku beberapa jenak, pasti aku
akan lebih malu lagi. Mataku pasti juga
memerah karna tangisan.
“Ayolah, tak baik menyembunyikan masalah. Antum harus bicara dan punya teman untuk
berbagi.”
“Ustad mau jadi teman ana, mau mendengar cerita Ana?”
“Tentu saja Abdullah!”
Jawabku bersemangat. Aku tahu,
bercerita pada seorang yang tepat, adalah salah satu cara mengobati luka hati.
Abdullah
tersenyum. Ada binar ceria di
matanya. Subhanallah. Manis dan tampan anak ini jika
tersenyum. Sayang sekali, itu jarang
terlihat selama ia di pondok.
“Ustad, taukah Ustad, teman-teman sekamar tidak menyukai ana?”
Abdullah memulai ceritanya dengan malu-malu.
“Uhmmm… oh, ya, Ustad sempat mendengar hal itu.” Aku tak bisa
berpura-pura bahwa aku tak tahu.
“Ustad tahu kenapa?”
Abdullah kini menatapku lekat.
“Uhmm… karena kaus yang antum pakai itu kan ya?” Ragu aku menjawab.
“Ya, itu salah satunya.” Abdullah Kembali menekur. “Tapi itu juga puncaknya Tad. Mereka mengeroyok Ana. Tak memberikan kesempatan ana untuk menjawab. Mereka bertubi-tubi mencecar ana.”
“Tapi kenapa antum tetap memakai kaus lurik ini Kak. Apa memang tak punya kaus lagi, atau semua
kaus antum bermotif sama seperti ini?”
Desakku akhirnya, tak sabar.
“Ada kisah dan kenangan sendiri dengan kaus ini Tad. Mengapa ana hampir selalu memakai kaus ini….”
Lalu meluncurlah kisah Abdullah dengan kaus lurik
kesayangannya. Aku menyimaknya dengan
seksama.
“Ana bungsu dari 4 bersaudara.
Jarak lahir kami hampir 5 tahun sekali.
Umi dan Abi adalah orang tua yang hebat buat Ana. Mereka saling mendukung satu sama lain. Abi seorang pengusaha yang cukup sukses dan
sibuk, tapi sesibuk apa pun pasti akan meluangkan waktu untuk keluarganya. Umi , walaupun bersekolah sampai perguruan
tinggi bahkan melanjutkan S2 nya, lebih memilih menjadi ibu rumah tangga saja,
menemani abi dan kami dalam segala hal.
Ana anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga, bungsu pula. Hingga abi sangat menyayangi Ana. Jika abi ke luar kota, ana selalu diajak,
atau setidaknya ada oleh oleh yang dibawa untuk ana. Saat usia ana 13 tahun, memasuki kelas 2 SMP,
abi mulai mengurangi kegiatan usahanya di luar kota. Abi mulai sakit-sakitan. Umi bilang, abi kecapean. Saat ana duduk di kelas 3 SMP, tepat sepekan
menjelang ujian sekolah, abi pergi untuk selama-lamanya.” Suara Abdullah memelan sebelum akhirnya
menghilang.
Beberapa saat ia terdiam.
Hatiku ikut tersayat. Bayangan
masa kecilku Kembali berkelebat.
Ayah. Mobil terjungkal. Ibu menangis dan terkulai pingsan. Suara ambulan menguing. Keranda mayat dikelilingi kerabat dan
tetangga yang melantunkan yasin. Kuburan
bertabur bunga dan irisan daun pandan.
Semua berkelebat mengacaukan hati.
“Kenangan paling indah buat ana, adalah saat ulang tahun, sebulan
sebelum abi meninggal, abi membelikan kaus ini.
Kaus yang sangat ana sukai.
Sekaligus kaus kenangan terakhir dari abi. Ana sering memakainya, karna ana tak ingin
bayangan abi hilang. Ana ingin abi selalu
bersama ana di mana pun. Ana selalu
merindukan abi. Ana selalu merindukan
abi Ustad.” Abdullah terisak Kembali.
Kedua telapak tangannya menutupi wajah.
Basah jari jemarinya oleh tumpahan air mata. Aku mendekat dan memeluknya Kembali. Kami menangis bersama. Abdullah, kamu tak sendiri. Bisikku dengan hati yang teriris.
#3#
Udara malam ini terasa
sejuk. Semilir angin bertiup lembut,
menerobos kisi-kisi jendela berbingkai kayu kamar asrama yang aku tempati. Bulan purnama bersinar penuh tepat di atas
bayangan pohon pinus yang tumbuh tak jauh dari asrama para asatidz. Bintang tak begitu nampak , cahayanya
terkalahkan cahaya bulan. Kuhampiri
jendela kamar dan menatap puncak kubah masjid yang berkilau tertimpa cahaya
bulan. Masya Allah. Subhanallah.
Tetiba aku teringat malam-malam purnama di kampung dulu. Aku, ibu, bapak dan adik perempuanku
satu-satunya, duduk melingkar di teras rumah kecil kami. Bercerita tentang banyak hal. Seru sekali.
Walau aku sering juga menangis saat ada masalah di sekolah, tapi semua
terobati saat cerita kutumpahkan pada bapak dan ibu. Hidup kami sederhana, tapi kami bahagia. Bapak dan ibu sangat ingin aku menjadi
seorang ustad, mendidik murid dengan penuh kasih sayang dan ikhlas.
Alhamdulillah, aku kini ada di sini.
Suara tawa terdengar dari Lorong
bangunan asrama putra, tepat di seberang kamar tempatku berdiri. Rupanya mereka sedang bercengkerama dan
bercanda seusai muhadatsah Bahasa Arab.
Nampak beberapa di antara mereka masih bercakap dalam Bahasa Arab. Mataku tertuju pada santri berbaju koko marun
berpeci hitam. Berperawakan kecil dengan
rambut sedikit ikal. Ia asyik bercakap
dengan santri lainnya dalam bahasa Arab yang menurutku cukup fasih. Sesekali kulihat mereka tertawa bersama. Masya Allah.
Abdullah!
Ya, semenjak kejadian sore itu, Abdullah mulai berangsur membuka
diri. Aku berusaha dekat dan intens
menjadi sahabatnya. Mendengar
kisahnya. Memberinya nasehat, kekuatan
dan motivasi. Terakhir, diam-diam aku
belikan beberapa potong kaus lurik untuknya, kububuhkan tulisan kalimat seperti
ini,
“Abdullah,
semoga kaus ini bisa membuat antum tersenyum.
Kenangan tak harus terus kita simpan dalam bentuk benda. Kenangan akan tetap tersimpan walau tanpa apa
pun. Kenangan bersama mereka yang kita
cinta akan selalu ada dalam hati dan hidup kita. Ia pasti akan abadi selama kita merawatnya
dengan menambah kebaikan untuk orang-orang di sekitar kita. Buktikan pada ayah, bahwa antum adalah putra
kebanggaan beliau. Beliau pasti bangga,
jika antum bisa berteman dengan banyak orang.
Antum punya potensi untuk menjadi yang terbaik… Ayo, buatlah bangga
almarhum ayah kita… Tunjukkan, yatim bukanlah halangan untuk maju!”
Kulipat kertas polos yang baru selesai aku baca ulang itu.
Kusisipkan pada bungkusan kado bersampul coklat. Kububuhkan tulisan : Untuk adikku Abdullah…
Senyum mengembang di bibirku.
Kuhela nafas lega.
Alhamdulillah. Terima kasih ya
Rabb, aku punya adik lagi. Tak akan
kubiarkan para yatim menanggung sepi dan sedih.
Karena aku tahu betul, walau mereka memiliki harta, belum tentu mereka
bahagia. Mereka masih butuh sosok
laki-laki kuat yang mampu mengisi peran ayah dalam hidup mereka. Mereka masih butuh perhatian dan kasih
sayang. Mereka butuh motivator untuk
maju.
Aku mengalihkan pandangan
ke sudut meja kamar. Sebentuk
wajah penuh senyum menatapku bangga.
“Lek, jadilah orang baik. Banyak
menolong sesama. Jangan jadi beban
mereka. Seperti yang selalu Kanjeng
Rasul katakan, sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling manfaat untuk
ummat.” Begitu selalu Bapak menasehatiku
saat aku remaja dulu. Nasehat yang tak
pernah aku dengar lagi semenjak kecelakaan itu terjadi. Namun nasehat itu
selalu terngiang dalam hati.
Sosok dalam foto itu mendekatku, Bayangannya memelukku hangat dan
penuh kasih. Aku menangis dalam
dekapannya. “Nggih Pak, Aku janji, akan
berusaha memenuhi harapan Bapak.”
Di luar sana, kudengar Kembali tawa Abdullah bersama para santri
yang lain. Dadaku dipenuh rasa haru dan
bahagia. Bapak, aku janji, tak akan
kubiarkan air mata anak-anak yatim menetes lagi. Aku tak ingin pengalaman hidupku terulang
pada mereka. Mereka harus bahagia. Aku ingin menjadi teman Rasulullah di syurga
nanti. (Karawang, 3 Desember 2021,
Barakallah fii Umrik Abdullah-ku.
Jadilah kuat walau tanpa ayah)