Rabu, 01 Desember 2021

 



Kaus Lurik Abdullah

(sebuah Cerita pendek : Titin Supriatin, S.P)

 

Bismillah.

Di sudut pertigaan jalan menuju pintu gerbang keluar pondok, beberapa santri putra berkerumun. Terdengar percakapan serius yang makin jelas saat kumendekat.  Dalam diam, kucoba merekam percakapan mereka dengan seksama.

“Sudah bosen aku ingatkan dia, tetap saja ndak ada perubahan.” Salah seorang dari mereka berujar dengan semangat.

“Beta juga sama.  Sudah berkunang-kunang rasanya mata beta melihat dia memakai kaus itu.  Lusuh.  Kekecilan.  Dan…”

“Bau!!!”  Kompak keempat santri lain dalam kerumunan itu melengkapi kalimat santri yang menamakan dirinya “Beta”

“Begitu kan Sir?”  Santri berambut keriting kecil di sebelah si “Beta” menegaskan.

“Ya akhi Hasan.  Tapi kadang Beta iba melihat dia sering murung sendirian. Kalau tak ada rasa kasian itu, sudah Beta teriakin supaya dia buang kaus itu.  Beta ga kuat baunya.”  Si Beta yang bernama Nasir itu mengeluarkan uneg-unegnya makin menggebu.

“Jangankan kamu Sir, aku sing ndak sekamer sama dia saja geli setiap melihatnya ke masjid pakai kaus itu.” Joko, santri bersarung kotak-kotak yang sedari tadi diam seribu Bahasa, ikut menimpali.

“Sepertinya ini tidak bisa didiamkan.  Tapi, bagaimana caranya ya?”  Cecep, santri paling ganteng dan alim di antara mereka berdiri dan menangkupkan kedua tangannya di dada, berfikir keras mencari cara.

Siapa yang sedang mereka bicarakan ini, fikirku.  Aku sengaja berhenti dan duduk tak jauh dari para santriku berkerumun.  Sebuah pohon beringin berkayu raksasa mampu menyembunyikan tubuh kurusku dari pandangan mereka.  Keseruan dan keseriusan perbincangan mereka telah menyita Sebagian besar perhatian.  Hingga keberadaanku tak mereka sadari.

“Hey, tuh…tuh…tuh kan, dia pakai kaus itu lagi!” Bima, santri bertubuh paling besar, tiba-tiba berseru dan menunjukkan jarinya ke arah masjid.  Jarak masjid dan tempat mereka berdiri cukup mampu meredam riuhnya suara mereka dari seorang santri yang sedang mereka amati dan perbincangkan. 

Reflek aku mengikuti ujung jari Bima.  Mataku menangkap sosok kecil Abdullah, santri berkaus lurik, yang sedang melangkah ke arah masjid. Ada haru yang sedari dulu selalu hinggap, setiap aku melihat Abdullah.  Entah kenapa.  Aku belum begitu mengenalnya.  Dia santri kelas XI.  Aku hanya mengenalnya sekilas.

“Subhanallaah… ndak nyadar apa dia ya.  Kaus itu  sudah ndak pantas dipakai.  Lusuh banget jeh!” Kusno, santri asal Cirebon yang paling vocal di antara teman-temannya Kembali berkomentar sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tanda prihatin.

“Iya ya.  Saya mah da ga faham masalahnya.  Tiba-tiba kalian ngumpul ngajak saya ke sini.  Ternyata gegara ini.?” Udin santri berkaos hitam yang bertuliskan “Pejuang Subuh” di bagian depan dadanya tersenyum kecut.  

“Kamu kan  yang sering ngobrol sama dia Din.  Makanya kami ajak kamu diskusi, untuk bantu nasehatin agar dia ndak pakai kaus itu lagi.  Bukan apa-apa.  Kami ndak betah sama baunya. ”

“Hadeuh… Pekerjaan berat ini!” Udin menepuk jidatnya.  Semua yang berdiri menatap Udin penuh harap.  “Pliss lah Din… “ Mereka berseru kompak.  Beberapa diantaranya menepuk Pundak Udin, seolah menitipkan amanah itu di bahunya. Hhhh… hanya desis yg keluar dari bibir Udin.  Matanya dilempar jauh ke arah puncak gunung Ciremai yang berjarak hanya berapa kilo dari bangunan pondok pesantrennya berdiri, seolah ingin memanggil seribu kekuatan makhluk di puncak sana untuk bisa membantu meringankan beban fikirannya.

#1#

Sudah cukup lama aku menjadi bagian dari guru pendamping di asrama boarding ini.  Barisan Asatidz, begitu kira-kira istilahnya.  Berbagai model santri silih berganti aku bimbing dan bina.  Dari model  yang sangat mandiri sampai santri yang bawaannya ‘homesick’ alias ingin kabur saja dari pondok, karena tidak terbiasa hidup jauh dari keluarga. Namun mendapati sosok Abdullah, aku langsung tercenung sendiri.  Ada sesuatu yang menarik dari santri satu ini, semenjak aku menemukan sosoknya termenung sendirian tepat di bawah jendela masjid utama pondok yang kokoh berdiri di tengah area Kawasan pesantren. 

“Antum tidak bergabung dengan yang lain, Kak?” Sapaku saat itu, kugerakkan kepala mengarahkan pandangan ke sekumpulan santri yang sedang bermain futsal di lapangan tak jauh dari masjid.

“Tidak Ustad.”  Jawab Abdullah singkat, dengan tatapan mata senyum, tetap menunjukkan rasa hormat.  Terlihat jelas santri satu ini pemalu dan introvert.

“Wah, kenapa?  Bukankah seru main futsal?”  Kugeser duduk sedikit merapat ke arahnya.

“Kurang suka Ustad.  Ana tidak pandai menendang bola.”

“oo, antum lebih senang membaca buku rupanya ya, dan … apa itu, buku agenda atau diari?  Ahaaa… pasti antum suka menulis juga ya.” Tebakku, saat kulihat ada dua buku tebal di pangkuan Abdullah.  Satu buku novel Islami dan satunya buku tulis batik tebal.  Bertuliskan Catatan Harian. 

Abdullah hanya menjawab dengan senyum tersipu.

Senyum itulah yang akhirnya sering kudapati, saat aku berpapasan dengan Abdullah.  Dan tentu saja ucapan salam dan cium tangan takjim, sebagai sebuah tradisi pondok saat berpapasan dengan para asatidz.  Pelit sekali kalimat Panjang keluar dari bibir Abdullah.  Tidak hanya padaku, tapi pada hampir semua penghuni Kawasan pondok pesantren Insan Madani ini. Jarang aku melihat Abdullah terlibat percakapan seru dengan sesama santri.  Dapat kuhitung, berapa banyak Abdullah tertawa dan berkumpul dengan kawan-kawannya.  Dan, satu hal lagi, Abdullah kerap sekali memakai kaus lurik berwarna hitam putih dan kuning.  Jauh lebih sering kulihat itu ketimbang melihatnya bicara, tersenyum atau berkegiatan lainnya.  Dan sekalinya kudapati ia ngobrol dengan temannya, pasti kaus yang dia pakai selalu sama, Kaus lurik hitam putih kuning.  Hingga sering kudengar para santri memanggilnya si kaus lurik.  Astaghfirullah.  Semoga itu bukan bentuk bullying di lingkungan pondok.  Karena kulihat Abdullah seakan tak peduli.  Dia pandai menyembunyikan segala perasaan di balik wajah diamnya.

Pernah kutanya dengan sedikit bercanda pada Abdullah, mengapa ia gemar sekali memakai kaus lurik itu.  Abdullah hanya menjawab dengan senyum tipis, lalu menunduk.  Sempat kulihat berkas kesedihan di tatapan matanya.  Namun aku tak memahami apa maknanya. 

Akhirnya aku mencoba mereka-reka berbagai kemungkinan.  Apakah ia tak punya banyak kaus di pondok?  Apa ia berasal dari kalangan keluarga tak mampu, sehingga harus mengirit barang yang dimiliki? Ah, pasti bukan seperti itu.  Aku pernah melihat keluarga Abdullah berkunjung ke pondok, berkendaraan mobil Honda Jazz, yang pasti harganya tidak murah.  Pastinya juga, orang tua Abdullah mampu membelikan putranya baju mahal sekalipun. 

Apa ia memiliki selusin kaus dengan motif yang sama?  Ah, masa iya.  Kenapa kalau memang ia punya banyak kaus dengan motif sama, teman-teman sekamarnya banyak yang mengeluhkan bau tak sedap kaus itu.  Pertanda kaus itu jarang dicuci!

#2#

Sabtu sore itu seperti biasa, para santri kelas X dan kelas XI diberikan kebebasan untuk melakukan kegiatan bebas.  Bada ashar mereka punya waktu untuk melakukan kegiatan yang mereka sukai.  Ada yang Latihan memanah.  Ada yang bermain futsal.  Ada yang bermain volli.  Ada yang lebih suka menghafal Qur’an atau baca buku di teras masjid.  Para Asatidz juga tidak selamanya harus ketat mengawasi mereka, karena pada dasarnya kehidupan pondok pesantren dibangun dan diciptakan untuk mendidik generasi mandiri.  Sebagian Asatidz memilih pulang ke rumah mereka, bagi yang tinggal tak jauh dari pondok. 

Aku, tentu saja lebih memilih berada di lingkungan asrama bersama para santriku.  Selain karena rumahku jauh di ujung timur pulau Jaw asana, menurutku, Sabtu sore adalah hari paling menarik untuk melakukan kegemaranku, menulis!  Menulis apa saja yang menarik perhatianku.  Dan, di sinilah aku menemukan banyak hal menarik untuk aku tulis.  Setiap hal kecil bukanlah hal remeh temeh buatku.  Malah sebaliknya, hal-hal kecil dan sederhana bisa menumbuhkan rasa kagum dan menakjubkan bagiku.  Kekaguman itu seringkali mendorongku untuk menyimpannya dalam sebuah tulisan, dan  semoga saja tulisanku bisa memberikan inspirasi dan motivasi untuk orang lain.

“Berhenti!  Abdullah… Hei!!!” 

Suara teriakan dari arah lapangan basket, tak jauh dari tempatku duduk membuyarkan monolog hatiku.  Bergegas mataku mencari sumber suara.  Seorang santri berkaus lurik berlari tertatih, diikuti 2 santri yang mengejar dengan wajah kesal dan putus asa.

“Abdullah, tunggu…dengarkan kami dulu.  Tolonglah!”

Berpasang wajah menatap mereka tak mengerti.  Apalagi saat Abdullah mulai makin mempercepat larinya, bahkan sempat para santri yang memperhatikan adegan itu mendengar suara isakan tangis Abdullah.

“Ustad, afwan… ada apa dengan mereka?” Seorang santri menghampiriku dengan tatap mata yang penasaran.

“Ya, ada apa dengan mereka ya?”  Bukannya menjawab, aku bertanya balik.  Aku memang belum faham apa yang terjadi.

“Abdullah menangis Ustad!”  Sambung santriku, “Baru kali ini aku mendengar seorang santri SMA menangis di pondok, dengan suara yang terdengar cukup keras.”

“Kamu yakin dia menangis, Hasan?” tanyaku terkejut.

“Ya, kalau Ustad tidak percaya, boleh tanyakan pada Didi dan Junet.” Hasan melempar pandangannya ke arah jalan, di mana tadi Abdullah berlari sambal menangis disaksikan oleh kedua temannya yang lain.

“Baiklah, Ana akan tanyakan apa masalahnya pada Udin dan Kusno.  Sepertinya mereka tau.”  Bergegas aku menghampiri Udin dan Kusno, yang kini menghentikan pengejaran mereka.  Wajah mereka Nampak putus asa.

“Ada apa Kus, Din?”  Tanyaku tenang.  Kuhampiri dua santri teman sekamar Abdullah itu.

“Biasa Tad, Abdullah, masalah lagi.  Cape kami menasehatinya.”  Udin menekur lesu, nafasnya tersengal dan berat menahan kesal dan cape.

“Iya Tad, tadi kami mengajaknya diskusi tentang kaus lurik yang sering dipakainya.  Kami semua sudah tak tahan.”  Kusno menjelaskan terbata, ada rasa takut di ujung suaranya yang memelan.

“Trus…” Aku menunggu dengan sabar penjelasan itu selesai.

“Dia diam seribu kata. Diam benar-benar diam.”

“AKhirnya kami berlima yang sekamar dengannya bicara semua.” Sambung Udin.  Matanya menantap nanar jalanan yang tadi dilewati Abdullah berlari.

“Lalu…” Aku bertanya dengan nada mulai tak sabar kini. 

“Dia tetap diam Tad.  Diam benar-benar diam.” Kusno mengulang jawabannya.

“Tapi kenapa kemudian Abdullah berlari sambal menangis tadi?  Kalian apakan?!”  Tanyaku dengan nada mulai meninggi.

“Si Dadang tak sabar, dan mengguncang-guncang badannya.  Leher kaus Abdullah dicengkeram dan ditarik berkali-kali dengan geram.” Suara Udin mulai bergetar.  Ada nada sesal di sana.

“Astaghfirullah…. “

Tanpa menunggu waktu, aku bergegas menelusuri jalan yang tadi dilalui Abdullah.  Aku akan menyusulnya.  Aku tahu hatinya begitu peka dan mudah terluka.  Tetiba, berkelebatan kenangan di kepalaku dengan cepat.  Berdenging rasanya hati ini.  Bayangan masa kecilku terlintas seketika.  Beberapa wajah teman masa kecilku bergantian hadir di kepala.  Serupa hantu menyeringai dan mengejekku.  Gema tawa mereka memekakkan telinga.  Tidak!!! Aku harus menolong Abdullah!

Setelah bertanya pada beberapa santri di sepanjang jalan, akhirnya aku menghentikan langkah di tepi sebuah danau, di mana kesunyian adalah satu-satunya teman di situ.  Ya, danau tak jauh dari pondok tempat kami beraktivitas.  Danau itu dulu seringkali dikunjungi para santri untuk melepas lelah dan penat belajar dan menghafal Qur’an.  Memancing atau sekedar melihat keelokan pemandangannya di senja hari.  Karena di saat itulah, kita bisa melihat bayangan matahari yang akan tenggelam di ujung barat bumi. Namun, semenjak peristiwa tenggelamnya seorang anak kecil yang bermain di danau, semua kenyamanan dan keindahan itu lenyap dimakan cerita negative yang beredar.  Danau menjadi sepi dan sunyi.

Aku memperlambat langkah.  Dari jauh, kulihat Abdullah terduduk di tepi danau.  Bersila membelakangi aku yang mulai mendekat.  Bahunya berguncang menahan tangis.  Sesekali kudengar ia terisak.  “Ayah… ayah…” sayup-sayup aku mendengar ia memanggil ayahnya. 

Mendengar ia memanggil ayah berkali-kali, tak terasa, air mata deras mendesak dan meluncur dari mataku.  Bayangan masa kecilku melintas lagi.  Bayangan yang sekuat mungkin aku usir tiap ia hadir.  Tapi kali ini aku tak mampu lagi membendung dan bahkan membunuhnya.  Aku berlari mendekat Abdullah.  Penuh iba segera kurangkul bahunya yang berguncang.  Tak peduli kaus luriknya menyengat hidungku dengan nyata.  Aku terisak bersamanya.  Aku menangis bersama Abdullah.  Ya Rabb… aku menangis!

Setelah puas kami menangis.  Isakan Abdullah mulai memelan dan akhirnya terdiam. 

“Menangislah jika itu membuat hatimu lega, Abdullah.”  Bisikku sambil tetap merangkul pundaknya.

“Alhamdulillah, sudah cukup Ustad.  Ana sudah lega.”

Aku melonggarkan pelukan.  Abdullah beringsut merubah posisi duduknya, berhadapan denganku.  Matanya sembab dan masih berkaca-kaca merah.

“Trima kasih ustad.  Ustad mau menemani ana di sini.”  Bisiknya.  Tangannya menyeka butiran air yang masih tersisa di matanya.

“Kalau antum sudah tenang, bolehkah Ustad mendengar cerita yang sebenarnya, yang menyebabkan antum  menangis, Kak?” Tanyaku penuh empati. 

“Ana malu Ustad.  Ana cengeng sekali.”  Abdullah tertunduk.  Andai dia menatapku beberapa jenak, pasti aku akan lebih malu lagi.  Mataku pasti juga memerah karna tangisan.

“Ayolah, tak baik menyembunyikan masalah.  Antum harus bicara dan punya teman untuk berbagi.”

“Ustad mau jadi teman ana, mau mendengar cerita Ana?”

“Tentu saja Abdullah!”  Jawabku bersemangat.  Aku tahu, bercerita pada seorang yang tepat, adalah salah satu cara mengobati luka hati.

Abdullah tersenyum.  Ada binar ceria di matanya.  Subhanallah.  Manis dan tampan anak ini jika tersenyum.  Sayang sekali, itu jarang terlihat selama ia di pondok.

“Ustad, taukah Ustad, teman-teman sekamar tidak menyukai ana?” Abdullah memulai ceritanya dengan malu-malu.

“Uhmmm… oh, ya, Ustad sempat mendengar hal itu.” Aku tak bisa berpura-pura bahwa aku tak tahu.

“Ustad tahu kenapa?”  Abdullah kini menatapku lekat.

“Uhmm… karena kaus yang antum  pakai itu kan ya?”  Ragu aku menjawab.

“Ya, itu salah satunya.” Abdullah Kembali menekur.  “Tapi itu juga puncaknya Tad.  Mereka mengeroyok Ana.  Tak memberikan kesempatan ana untuk menjawab.  Mereka bertubi-tubi mencecar ana.”

“Tapi kenapa antum tetap memakai kaus lurik ini Kak.  Apa memang tak punya kaus lagi, atau semua kaus antum bermotif sama seperti ini?”  Desakku akhirnya, tak sabar.

“Ada kisah dan kenangan sendiri dengan kaus ini Tad.  Mengapa ana hampir selalu memakai kaus ini….”

Lalu meluncurlah kisah Abdullah dengan kaus lurik kesayangannya.  Aku menyimaknya dengan seksama. 

“Ana bungsu dari 4 bersaudara.  Jarak lahir kami hampir 5 tahun sekali.  Umi dan Abi adalah orang tua yang hebat buat Ana.  Mereka saling mendukung satu sama lain.  Abi seorang pengusaha yang cukup sukses dan sibuk, tapi sesibuk apa pun pasti akan meluangkan waktu untuk keluarganya.  Umi , walaupun bersekolah sampai perguruan tinggi bahkan melanjutkan S2 nya, lebih memilih menjadi ibu rumah tangga saja, menemani abi dan kami dalam segala hal.  Ana anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga, bungsu pula.  Hingga abi sangat menyayangi Ana.  Jika abi ke luar kota, ana selalu diajak, atau setidaknya ada oleh oleh yang dibawa untuk ana.  Saat usia ana 13 tahun, memasuki kelas 2 SMP, abi mulai mengurangi kegiatan usahanya di luar kota.  Abi mulai sakit-sakitan.  Umi bilang, abi kecapean.  Saat ana duduk di kelas 3 SMP, tepat sepekan menjelang ujian sekolah, abi pergi untuk selama-lamanya.”  Suara Abdullah memelan sebelum akhirnya menghilang. 

Beberapa saat ia terdiam.  Hatiku ikut tersayat.  Bayangan masa kecilku Kembali berkelebat.  Ayah.  Mobil terjungkal.  Ibu menangis dan terkulai pingsan.  Suara ambulan menguing.  Keranda mayat dikelilingi kerabat dan tetangga yang melantunkan yasin.  Kuburan bertabur bunga dan irisan daun pandan.  Semua berkelebat mengacaukan hati. 

“Kenangan paling indah buat ana, adalah saat ulang tahun, sebulan sebelum abi meninggal, abi membelikan kaus ini.  Kaus yang sangat ana sukai.  Sekaligus kaus kenangan terakhir dari abi.  Ana sering memakainya, karna ana tak ingin bayangan abi hilang.  Ana ingin abi selalu bersama ana di mana pun.  Ana selalu merindukan abi.  Ana selalu merindukan abi Ustad.” Abdullah terisak Kembali.  Kedua telapak tangannya menutupi wajah.  Basah jari jemarinya oleh tumpahan air mata.  Aku mendekat dan memeluknya Kembali.  Kami menangis bersama.  Abdullah, kamu tak sendiri.  Bisikku dengan hati yang teriris.

#3#

                Udara malam ini terasa sejuk.  Semilir angin bertiup lembut, menerobos kisi-kisi jendela berbingkai kayu kamar asrama yang aku tempati.  Bulan purnama bersinar penuh tepat di atas bayangan pohon pinus yang tumbuh tak jauh dari asrama para asatidz.  Bintang tak begitu nampak , cahayanya terkalahkan cahaya bulan.  Kuhampiri jendela kamar dan menatap puncak kubah masjid yang berkilau tertimpa cahaya bulan.  Masya Allah.  Subhanallah.  Tetiba aku teringat malam-malam purnama di kampung dulu.  Aku, ibu, bapak dan adik perempuanku satu-satunya, duduk melingkar di teras rumah kecil kami.  Bercerita tentang banyak hal.  Seru sekali.  Walau aku sering juga menangis saat ada masalah di sekolah, tapi semua terobati saat cerita kutumpahkan pada bapak dan ibu.  Hidup kami sederhana, tapi kami bahagia.  Bapak dan ibu sangat ingin aku menjadi seorang ustad, mendidik murid dengan penuh kasih sayang dan ikhlas. Alhamdulillah, aku kini ada di sini.

                Suara tawa terdengar dari Lorong bangunan asrama putra, tepat di seberang kamar tempatku berdiri.  Rupanya mereka sedang bercengkerama dan bercanda seusai muhadatsah Bahasa Arab.  Nampak beberapa di antara mereka masih bercakap dalam Bahasa Arab.  Mataku tertuju pada santri berbaju koko marun berpeci hitam.  Berperawakan kecil dengan rambut sedikit ikal.  Ia asyik bercakap dengan santri lainnya dalam bahasa Arab yang menurutku cukup fasih.  Sesekali kulihat mereka tertawa bersama.  Masya Allah.  Abdullah! 

Ya, semenjak kejadian sore itu, Abdullah mulai berangsur membuka diri.  Aku berusaha dekat dan intens menjadi sahabatnya.  Mendengar kisahnya.  Memberinya nasehat, kekuatan dan motivasi.  Terakhir, diam-diam aku belikan beberapa potong kaus lurik untuknya, kububuhkan tulisan kalimat seperti ini,

“Abdullah, semoga kaus ini bisa membuat antum tersenyum.  Kenangan tak harus terus kita simpan dalam bentuk benda.  Kenangan akan tetap tersimpan walau tanpa apa pun.  Kenangan bersama mereka yang kita cinta akan selalu ada dalam hati dan hidup kita.  Ia pasti akan abadi selama kita merawatnya dengan menambah kebaikan untuk orang-orang di sekitar kita.  Buktikan pada ayah, bahwa antum adalah putra kebanggaan beliau.  Beliau pasti bangga, jika antum bisa berteman dengan banyak orang.  Antum punya potensi untuk menjadi yang terbaik… Ayo, buatlah bangga almarhum ayah kita… Tunjukkan, yatim bukanlah halangan untuk maju!”

Kulipat kertas polos yang baru selesai aku baca ulang itu. Kusisipkan pada bungkusan kado bersampul coklat.  Kububuhkan tulisan : Untuk adikku Abdullah…

Senyum mengembang di bibirku.  Kuhela nafas lega.  Alhamdulillah.  Terima kasih ya Rabb, aku punya adik lagi.  Tak akan kubiarkan para yatim menanggung sepi dan sedih.  Karena aku tahu betul, walau mereka memiliki harta, belum tentu mereka bahagia.  Mereka masih butuh sosok laki-laki kuat yang mampu mengisi peran ayah dalam hidup mereka.  Mereka masih butuh perhatian dan kasih sayang.  Mereka butuh motivator untuk maju.

Aku mengalihkan pandangan  ke sudut meja kamar.  Sebentuk wajah penuh senyum menatapku bangga.  “Lek, jadilah orang baik.  Banyak menolong sesama.  Jangan jadi beban mereka.  Seperti yang selalu Kanjeng Rasul katakan, sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling manfaat untuk ummat.”  Begitu selalu Bapak menasehatiku saat aku remaja dulu.  Nasehat yang tak pernah aku dengar lagi semenjak kecelakaan itu terjadi. Namun nasehat itu selalu terngiang dalam hati.

Sosok dalam foto itu mendekatku, Bayangannya memelukku hangat dan penuh kasih.  Aku menangis dalam dekapannya.  “Nggih Pak, Aku janji, akan berusaha memenuhi harapan Bapak.”

Di luar sana, kudengar Kembali tawa Abdullah bersama para santri yang lain.   Dadaku dipenuh rasa haru dan bahagia.    Bapak, aku janji, tak akan kubiarkan air mata anak-anak yatim menetes lagi.  Aku tak ingin pengalaman hidupku terulang pada mereka.  Mereka harus bahagia.  Aku ingin menjadi teman Rasulullah di syurga nanti.  (Karawang, 3 Desember 2021, Barakallah fii Umrik Abdullah-ku.  Jadilah kuat walau tanpa ayah)