Bross
Catatan
kecil Jum’at Siang,23 Desember 2016 By : Bunda Ara
Kupandangi
benda itu dengan seksama. Tingkat
respect di awal sebenarnya bernilai 6.
Tak ada keinginan untuk membelinya. Apalagi memakainya. Bukan karena bros itu jelek. Bagus sih. Menarik dan anggun aku kira. Pasti teman-teman guru akan berdecak kagum
untuk membeli lalu memakainya.
Kupandangi
kembali bros berhias tiga helai bulu burung halus itu. Kupilih warna coklat agar tak terlalu
mencolok. Ukurannya yang besar, membuat aku pasti merasa tak akan nyaman
memakainya. Tak pede gitu loh...Padahal
bros itu bentuk utamanya sih bunga.
Bunga yang terbuat dari rajutan pita kecil, kemudian diberi hiasan tambahan
beberapa payet dan 3 helai bulu burung.
Hadeuuuuh... kebayang, betapa hebohnya dandananku dengan kerudung
berhias bros seperti itu.
Namun
entah kenapa, ada kekuatan besar yang kali ini mengalahkan egoku untuk HARUS
memakainya. HARUS. Loh... Why... kunaon...bukankah kamu terbiasa
untuk tak menarik pandangan mata orang di sekitarmu, dengan berusaha berdandan
sesuai porsi dan kelayakan. Bros mungil,
itu yang kamu suka kan?
Hihi...Kali
ini egoku harus kulawan. Bros itu
sungguh membuatku terinspirasi. Aku jadi
ingin mengingat kembali kronologis bros itu hingga sampai di tanganku.
Aku
ingat betul, siang itu hampir 3 jam aku terpanggang sinar matahari. Menyusuri jalan seputar kota Karawang bersama seorang sahabat. Walau terik, kami jalani saja semua dengan
santai dan obrolan ringan. Membawa missi
dan pesan beberapa teman yang ingin dibelikan makan siang. Hingga akhirnya kami mampir ke warung nasi
langgananku untuk menyelamatkan cacing
di perut kami yang sudah meronta kelaparan.
Saat
selesai membayar makanan yang kami beli dan belum sempat kubalikkan badan menuju
pintu keluar, seorang laki-laki masuk membawa tas dan langsung menawarkan kami
beberapa barang di tangannya. Bros-bros
lucu dengan ukuran “raksasa”.
Wow...Sesaat
aku terpana. Ragu antara ingin langsung
menolak namun tak tega. Apalagi saat
kudengar ia menawarkan dagangannya dengan antusias, tanpa suara. Hanya beberapa kata yang tak jelas aku
dengar. Sambil sesekali tangannya
bergerak memberi isyarat harga. Ups...
pada titik inilah haruku membuncah...Masya Allah... ternyata pedagang bros ini
seorang disable. Ia tuna rungu dan tuna wicara.
Aku
tertunduk sejenak dalam sesak menahan tangis.
Maaf, aku memang perasa banget.
Baperan begitu menurut sahabat dekatku.
Akhirnya, sesaat setelah membenahi perasaan haruku, dengan antusias aku
pilih beberapa bros dalam tas yang dibawa laki-laki itu. Aduh, agak lama aku memilih. Karena jujur,
aku kurang suka dengan ukuran, warna dan bentuknya yang tak sesuai dengan gaya
keseharianku. Aku mungil dan tak ingin
mencolok. Terpilihlah hanya satu
bros. Satu saja. Dengan pandangan menyesal aku membelinya.
Andai saja bisa, aku ingin memborongnya dan kubagikan kepada teman-temanku...
Ah, maafkanlah...
Namun
sungguh,tak ada ekspresi memelas di wajah laki-laki itu. Dengan senyum bahagia
dia menerima uangnya. Lalu pergi menjauh
setelah kuucap kata terima kasih.
Kuhantar kepergian laki-laki itu dengan desah nafas berat. Ya Allah... selalu saja aku merasa tak tega,
sekaligus bangga. Mungkin aku terlalu berlebihan yaa... sampai tak tahan
rasanya untuk menuliskannya dalam sebuah catatan, yang jujur banget sudah lama
tak kulakukan. Kali ini aku HARUS
melakukannya. Menulis apa yang aku rasakan, dan membagikannya pada kalian.
Aku
berharap, tulisan ini mampu membangkitkan semangat untuk berbuat lebih baik.
Belajar ketegaran pada seseorang yang memiliki keterbatasan. Ternyata keterbatasan
tak menjadikannya diam dan menunggu belas kasihan. Keterbatasan membuatnya
bergerak dan mencari jalan. Keterbatasan membuatnya rela melakukan hal positif untuk bertahan hidup. Keterbatasan membawanya pada sebuah
keteladanan hidup bagi orang di sekelilingnya.
Tanpa ia sadari, ia telah menginspirasiku.
Kini aku
merasa bangga memakai bros itu. Dengan menyematkan
bros itu pada kerudungku, aku akan mengingat siapa penjualnya. Mengingat bagaimana
semangatnya ia dalam menjajakan barang dagangannya. Mengingat cara ia menawarkan barang dengan
suara tak jelas dan bahasa isyarat yang coba kupahami.
Subhanallah...
isyarat yang ia berikan, agar aku bisa setegar ia menjalani hari-hari. Tak
harus malu dan rendah diri. Apa yang aku
alami sekarang masih jauh lebih baik dari yang ia hadapi. Aku masih memiliki indra yang baik dan
komunikasi yang sempurna. Seharusnya aku
lebih kuat dan tegar dibanding ia. Dan yang lebih harus aku renungkan adalah,
seberapa besar perhatian aku dan kita pada mereka. Seberapa banyak kita sudah peduli akan
keberadaannya. Bantu mereka untuk
bangkit dan percaya diri... dengan respect dan penghargaan yang sama seperti
yang kita lakukan pada manusia normal lainnya.Wallahu alam bissawab....@
bunda.ara J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar