Tulisanku
kali ini masih berhubungan dengan bola.
Benda berbentuk bulat yang sering dijadikan rebutan puluhan pasang kaki
saat berada di lapangan. Benda yang keberadaannya sering dijadikan perbincangan
hangat para penggila kompetesi tingakt lokal, nasional maupun dunia. Tak pernah habis jika benda ini dijadikan
topik pembicaraan di semua kalangan penggemarnya. Termasuk aku
tentu saja, perempuan yang
mungkin sedikit ‘aneh’ karna mencandui olah raga yang satu ini. Hinggga
tak jarang orang-orang di sekelilingku tersenyum geli saat aku berteriak di
pinggir lapangan atau di depan televisi serta tak jarang ikut berkomentar
menilai permainan para anggota team.
Tulisanku kali ini bukan ingin
membahas seberapa seru kompetisi atau liga yang sedang berlangsung saat
ini. Tulisan ini terinspirasi dari peristiwa yang kualami di tempat aku mengabdi sebagai pendidik dan pengajar. Peristiwa yang hanya berlangsung tak lebih
dari dua puluh menitan. Peristiwa
sederhana yang akan aku kenang seumur hidup, bersama murid-murid kecilku.
Sehari pasca pelaksanaan pekan Penilaian
Tengah Semester (PTS). Suasana terasa
sedikit kacau. Tegang. Resah dan
gelisah. Bagaimana tidak?! Baru kali ini setelah selesai PTS, kebijakan
untuk mengadakan perbaikan nilai (remedial) dicanangkan oleh pengurus pusat. Tak ayal kami para guru segera mengambil
tindakan untuk melaksanakan dengan segala tanggung jawab penuh J
Sementara waktu tak bisa
menunggu. Agenda pembagian hasil PTS
akan dilaksanakan pada akhir pekan, tepatnya sepekan setelah pelaksanaan PTS,
kepada orang tua murid pula. Maka dimulailah
perayaan “remedial” di tiap kelas, dari level kelas1 hingga kelas 6. Sibuk.
Riweuh. Itulah gambaran beberapa
hari menjelang pembagian hasil PTS.
Wajah tegang para guru, antara percaya dan tidak akan kemampuan
menghasilkan nilai yang valid, akuntabel dan jujur. By The Way, itu semua harus dilakukan.
Lain cerita dengan para
murid. Kondisi mereka bisa digambarkan
menjadi 3 type. Type pertama, tegang dan khawatir saat tahu
nilai tak mencapai KKM. Type kedua gembira
karna tidak termasuk para ‘remedialisme’ .
Dan type ketiga, ini yang paling
seru, tak sedih maupun gembira, alias
biasa-biasa saja. Tak ada beban, mau
remedial atau tidak tak ada pengaruh buat mereka. Namun yang jelas, semua itu tetap membuat para guru
ketar-ketir. Sekali lagi dengan rasa
khawatir, bisa ga ya menghasilkan nilai
yang valid dan akuntabel dalam waktu singkat???
Salah seorang guru yang terkena
wabah tegang itu adalah aku. Jujur, aku adalah
guru yang paling tidak setuju dengan kegaduhan ritual ‘remedi’ buat para
muridku. Sedikit aneh yaa. Mungkin karna hampir sepanjang tugas mengajar
aku selalu kebagian mengajar murid kelas 1 dan 2. Hingga menurutku, kelas 1 dan 2 adalah masa
murid belajar untuk bersenang-senang dan bermain. Belajar harus menyenangkan dan enjoy, hingga kubuat mereka tak terbebani dengan
prosesi semacam ‘remedi’ ini. Kalaupun aku melakukannya terhadap
mereka, itu aku buat tanpa mereka
sadari bahwa mereka sebetulnya sedang
diremedial oleh gurunya.
Namun kali ini aku harus
mengubah keadaan itu. Kini aku mendapat
tugas mengajar murid kelas 4. Murid-murid
kelas 4 mulai beranjak besar. Tentu
harus mulai dikenalkan pada rasa tanggung terhadap hasil usaha mereka dalam
belajar. Apalagi konon katanya, nilai
yang tertera di ijazah kelas 6 mereka adalah akumulasi nilai dari kelas 4, 5
dan 6. Wow! Aku tak boleh menyepelekan ini tentu saja.
Akhirnya, dengan semangat 45,
ala para pejuang kemerdekaan, aku mulai berfikir keras dan menyusun strategi, bagaimana
cara remedi terbaik dan efektif. Kususun
soal remedi, kudata nama murid (yang ternyata tak sedikit L), dan tentu saja kusiapkan waktu dan
tenaga lebih untuk itu.
Murid-muridku patuh menuruti apa
yang kususun dan kurencanakan. Mereka
mencatat setiap nilai yang kuumumkan di buku tulis mereka, nilai tematik dari 4
paket soal yang mereka kerjakan juga nilai matematika. Tiap paket soal berisi 4 mata pelajaran
(kurikulum 2013 adalah kurikulum menggunakan pendekatan tematik), yaitu Bahasa
Indonesia, PKn, IPA dan IPS. Tak lupa
juga pelajaran matematika. Nilai tiap
paket soal pun kami buat menjadi 4 nilai sesuai bidang pelajaran. Walhasil, remidial pun kami lakukan untuk
tiap nilai bidang pelajaran yang kurang dari KKM.
Awalnya terasa berjalan
biasa. Murid-muridku mengerjakan dengan
santai. Dengan persiapan yang aku
sendiri tak yakin, karena waktu yang begitu sempit. Tak Ada jeda untuk belajar. Ditambah rasapenat setelah sepekan belajar
untuk menghadapi PTS. Kubayangkan
muridku pasti bosan dan capek. Namun,
sekali lagi, ini tetap harus berjalan.
Akhirnya, silih berganti muridku melakukan remidi massal. Dari satu guru bidang ke bidang lain. Termasuk aku, guru dan wali kelas
mereka. Kubagikan soal, murid
mengerjakan dan mengumpulkan setelah selesai.
Kunilai. Kupilah mana yang sudah
lulus dan lewat nilai batas minimum KKM, kupisah juga nilai yang masih kurang
dari batas minimal.
Masya Allah. Pada detik itu, tepat di hari ketiga, H-2
pembagian hasil PTS, aku terserang stress.
Kepalaku terasa pusing. Pundakku
terasa menanggung kiloan beban. Benar-benar
terasa tak nyaman. Lieurrr. Kupandangi murid-muridku yang beberapahari
ini memang tak belajar penuh. Mereka
nampak asyik bermain. Petak umpet. Kotak pos.
Ada juga yang menggambar. Sekedar
ngobrol dan duduk-duduk. Membaca buku di
perpustakaan. Ada juga beberapa murid
perempuanku bermain bola kaki di dalam kelas.
Riuh. Gaduh. Sungguh mengganggu konsentrasiku yang sedang
berjuang menyelesaikan penilaian akhir remedial mereka. Terutama nilai teman mereka yang harus
beberapa kali kuulang agar mendapat nilai batas minimal KKM. Hadeuuuuh!
Aku dikejar deadline pekerjaan.
Bukk! Bola kertas mereka mengenai kepalaku. Untung Cuma kertas. Tapi itu ternyata membuat emosiku terpancing. Spontan aku berdiri. Kupandangi mereka dengan kesal. Serentetan kalimat nasehat sudah ada di ujung
lidahku. Dua tanduk runcing yang tak
terlihat saat aku kesal mulai tumbuh di kepala.
Sederet penyesalan atas perilaku mereka memenuhi otakku. Kenapa mereka bermain di dalam kelas. Kenapa pula bermain dengan suara gaduh. Apalagi
kepalalu menjadi sasaran tendangan mereka. Harusnya mereka bisa tenang dan menghormati
guru mereka. Ini sungguh tak sopan dan
keterlaluan. Hhhhh... L
Aku bangkit dan berjalan
menghampiri kerumunan yang kini terdiam kaget.
Ada ketakutan yang terpancar di mata mereka. Pasti Miss Titin marah sekali. Bayangkan, bola itu mendarat di kepala Miss
Titin.
Kuedarkan pandangan ke setiap murid yang
bermain bola itu. Beberapa di antara
mereka menunduk takut. Beberapa pasang
mata menatapku kaget. Dan sisanya, jauh lebih banyak, menatapku
penuh harap pembebasan dan mohon pemakluman.
. Pliss Miss. Begitu mungkin isyarat yang tersirat. Beri kami waktu untuk bergembira. Kami lelah.
Kami capek. Boleh ya kami sedikit
bersenang-senang. Jangan marahi kami
Miss. Plisss... L
Aku luruh dalam rasa iba. Hingga beberapa detik kemudian kuubah
rencana. Awalnya aku akan memberikan funishment
pada mereka untuk membersihkan kelas.
Namun aku tak tega melihat lelah di wajah mereka. Aku membayangkan andai aku ada di posisi
mereka saat itu. Akhirnya, alih-alih
memberikan hukumanaku malah berbalik haluan.
“Ayo, kita main futsal di
lorong... Tapi, Bu Titin ikut yaaa...”
Sontak
belasan murid perempuanku mendongak kaget.
Raut mereka menunjukkan tanda rasa tak percaya. “Cius Miss?
Emang Miss Titin bisa main
bola?” Roman riang dan binar mata penuh keceriaan kini mengembang
lebar.
“Eeeey,
jangan salah yaa... Bu Titin dulu anggota team futsal sekolah loh...” Jawabku sedikit hiperbolik J. “ Yeeee, horeeee. Ayo Miss kita ke luar.” Antusias mereka menyambut ajakanku. Berjingkrakan ke luar menuju lorong yang
berada tepat di depan kelas kami. Lalu
sibuk memasang gawang dari sepatu yang disusun sedemikian rupa.
Akhirnya kami bermain di lorong
lantai 3 sekolah. Menendang.
Menggiring. Berlari.
Berseru. Berteriak. Tertawa bersama. Tak kupedulikan beberapa guru yang
memandangku heran bahkan geli. Tak
kupedulikan beberapa murid kelas lain di lantai 3 juga yang diam-diam
melaporkan kelakuan kami yang berisik.
Ah, sesekali hidup harus dinikmati. Tak perlu ada aturan yang mengikat. Toh kelas lain juga sibuk dengan kegiatan
masing-masing. Tak belajar. Heheeeee.
Kegiatan kami berhenti saat
waktu shalat dzuhur tiba. Keringat
mengucur di dahi dan tubuh. Degub
jantung kami berdetak lebih kencang dari biasa.
Kami tak peduli. Kami
gembira. Kami bahagia. Terutama aku.
Setelah sekian lama tak menikmati kegembiraan serupa ini. Kegembiraan bisa menemani murid-muridku
bermain bola, seperti yang pernah aku lakukan beberapa tahun lalu. Menikmati tawa ceria muridku. Seruan-seruan mereka saat memujiku betapa
lihainya bu Titin menggiring bola. Dan
akhirnya menciptakan Gooolll!!!
Ya, hari itu aku mendapatkan
pengalaman baru lain dalam dunia mengajarku.
Betapa anak-anak merindukan kebersamaan bersama orang tua mereka. Bersama guru-guru mereka. Mereka rindu berlari, melompat, teriak,
tertawa, mengekspresikan seluruh kebahagiaan bersama orang yang mereka anggap
dekat dengan mereka. Tak melulu
mengajari mereka, menasehati mereka, menyuruh mereka, mengarahkan ini dan
itu.
Subhanallaah. Alhamdulillaah. Trima kasih ya Allah, hari itu rasa pusingku
lenyap. Setelah aku mampu menciptakan
gol dan gol ke gawang yang dijaga ketat murid-muridku. Bukan untuk menunjukkan kehebatanku sebagai
seorang guru di hadapan murid-muridnya.
Tapi lebih pada keindahan atas kebersamaan yang kami bangun.
Terima kasih anak-anakku,
murid-murid kelas 4 yang bu Titin sayangi.
Semoga kebersamaan itu akan kita kenang hingga nanti. Jadikan kenangan itu sebagai bagian pelajaran
kehidupan di saat dewasa kalian. Bahwa
hidup membutuhkan jeda waktu untuk melangkah lebih jauh. Hidup butuh jeda waktu untuk rehat sejenak
dan berfikir, bagaimana cara menciptakan gol indah dan cantik dalam
kehidupan. Maka ciptakanlah GOL-
GOL kalian nanti. Gol-gol indah untuk diri kalian, untuk ayah
bunda kalian, untuk saudara dan sahabat kalian.
Untuk masyarakat. Untuk ummat dan
bangsa ini. Selamat berkarya, bu Titin
akan selalu berdoa untuk keberhasilan kalian.
J (Karawang, 15 Oktober 2017. Untuk murid-muridku tersayang, kelas 4
Madinah SDI Al Azhar 41 Karawang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar