Senin, 16 Oktober 2017

GOOOlll ...

Tulisanku kali ini masih berhubungan dengan bola.  Benda berbentuk bulat yang sering dijadikan rebutan puluhan pasang kaki saat berada di lapanganBenda yang  keberadaannya sering dijadikan perbincangan hangat para penggila kompetesi tingakt lokal, nasional maupun dunia.  Tak pernah habis jika benda ini dijadikan topik pembicaraan di semua kalangan penggemarnya.  Termasuk aku  tentu saja, perempuan yang mungkin sedikit ‘aneh’ karna mencandui olah raga yang satu ini.   Hinggga tak jarang orang-orang di sekelilingku tersenyum geli saat aku berteriak di pinggir lapangan atau di depan televisi serta tak jarang ikut berkomentar menilai permainan  para anggota team. 
                Tulisanku kali ini bukan ingin membahas seberapa seru kompetisi atau liga yang sedang berlangsung saat ini.  Tulisan ini terinspirasi dari  peristiwa yang kualami di tempat  aku  mengabdi sebagai pendidik dan pengajar.  Peristiwa yang hanya berlangsung tak lebih dari dua puluh menitan.  Peristiwa sederhana yang akan aku kenang seumur hidup, bersama murid-murid kecilku.
Sehari pasca pelaksanaan pekan Penilaian Tengah Semester (PTS).  Suasana terasa sedikit kacau.  Tegang. Resah dan gelisah.  Bagaimana tidak?!  Baru kali ini setelah selesai PTS, kebijakan untuk mengadakan perbaikan nilai (remedial) dicanangkan oleh pengurus pusat.  Tak ayal kami para guru segera mengambil tindakan untuk melaksanakan dengan segala tanggung jawab penuh J
                Sementara waktu tak bisa menunggu.  Agenda pembagian hasil PTS akan dilaksanakan pada akhir pekan, tepatnya sepekan setelah pelaksanaan PTS, kepada orang tua murid pula.  Maka dimulailah perayaan “remedial” di tiap kelas, dari level kelas1 hingga kelas 6.  Sibuk.  Riweuh.  Itulah gambaran beberapa hari menjelang pembagian hasil PTS.  Wajah tegang para guru, antara percaya dan tidak akan kemampuan menghasilkan nilai yang valid, akuntabel dan jujur.  By The Way, itu semua harus dilakukan.
                Lain cerita dengan para murid.  Kondisi mereka bisa digambarkan menjadi 3  type.  Type pertama, tegang dan khawatir saat tahu nilai tak mencapai KKM.  Type kedua gembira karna tidak termasuk para ‘remedialisme’ .  Dan type ketiga,  ini yang paling seru, tak sedih maupun gembira,  alias biasa-biasa saja.  Tak ada beban, mau remedial atau tidak tak ada pengaruh buat mereka.  Namun yang jelas,  semua itu tetap membuat para guru ketar-ketir.  Sekali lagi dengan rasa khawatir,  bisa ga ya menghasilkan nilai yang valid dan akuntabel dalam waktu singkat???
                Salah seorang guru yang terkena wabah tegang itu adalah aku.  Jujur, aku adalah guru yang paling tidak setuju dengan kegaduhan ritual ‘remedi’ buat para muridku.  Sedikit aneh yaa.   Mungkin karna hampir sepanjang tugas mengajar aku selalu kebagian mengajar murid kelas 1 dan 2.  Hingga menurutku, kelas 1 dan 2 adalah masa murid belajar untuk bersenang-senang dan bermain.  Belajar harus menyenangkan dan enjoy,  hingga kubuat mereka tak terbebani dengan prosesi semacam  ‘remedi’ ini.  Kalaupun aku melakukannya terhadap mereka,  itu aku buat tanpa mereka sadari  bahwa mereka sebetulnya sedang diremedial oleh gurunya.
                Namun kali ini aku harus mengubah keadaan itu.  Kini aku mendapat tugas mengajar murid kelas 4.  Murid-murid kelas 4 mulai beranjak besar.  Tentu harus mulai dikenalkan pada rasa tanggung terhadap hasil usaha mereka dalam belajar.  Apalagi konon katanya, nilai yang tertera di ijazah kelas 6 mereka adalah akumulasi nilai dari kelas 4, 5 dan 6.  Wow!  Aku tak boleh menyepelekan ini tentu saja.
                Akhirnya, dengan semangat 45, ala para pejuang kemerdekaan, aku mulai berfikir keras dan menyusun strategi, bagaimana cara remedi terbaik dan efektif.  Kususun soal remedi, kudata nama murid (yang ternyata tak sedikit L), dan tentu saja kusiapkan waktu dan tenaga lebih untuk itu.
                Murid-muridku patuh menuruti apa yang kususun dan kurencanakan.  Mereka mencatat setiap nilai yang kuumumkan di buku tulis mereka, nilai tematik dari 4 paket soal yang mereka kerjakan juga nilai matematika.  Tiap paket soal berisi 4 mata pelajaran (kurikulum 2013 adalah kurikulum menggunakan pendekatan tematik), yaitu Bahasa Indonesia, PKn, IPA dan IPS.  Tak lupa juga pelajaran matematika.  Nilai tiap paket soal pun kami buat menjadi 4 nilai sesuai bidang pelajaran.  Walhasil, remidial pun kami lakukan untuk tiap nilai bidang pelajaran yang kurang dari KKM.
                Awalnya terasa berjalan biasa.  Murid-muridku mengerjakan dengan santai.  Dengan persiapan yang aku sendiri tak yakin, karena waktu yang begitu sempit.  Tak Ada jeda untuk belajar.  Ditambah rasapenat setelah sepekan belajar untuk menghadapi PTS.  Kubayangkan muridku pasti bosan dan capek.  Namun, sekali lagi, ini tetap harus berjalan.  Akhirnya, silih berganti muridku melakukan remidi massal.  Dari satu guru bidang ke bidang lain.  Termasuk aku, guru dan wali kelas mereka.  Kubagikan soal, murid mengerjakan dan mengumpulkan setelah selesai.  Kunilai.  Kupilah mana yang sudah lulus dan lewat nilai batas minimum KKM, kupisah juga nilai yang masih kurang dari batas minimal. 
                Masya Allah.  Pada detik itu, tepat di hari ketiga, H-2 pembagian hasil PTS, aku terserang stress.  Kepalaku terasa pusing.  Pundakku terasa menanggung kiloan beban.  Benar-benar terasa tak nyaman.  Lieurrr.  Kupandangi murid-muridku yang beberapahari ini memang tak belajar penuh.  Mereka nampak asyik bermain.  Petak umpet.  Kotak pos.  Ada juga yang menggambar.  Sekedar ngobrol dan duduk-duduk.  Membaca buku di perpustakaan.  Ada juga beberapa murid perempuanku bermain bola kaki di dalam kelas.  Riuh.  Gaduh.  Sungguh mengganggu konsentrasiku yang sedang berjuang menyelesaikan penilaian akhir remedial mereka.   Terutama nilai teman mereka yang harus beberapa kali kuulang agar mendapat nilai batas minimal KKM.  Hadeuuuuh!  Aku dikejar deadline pekerjaan.
                Bukk!  Bola kertas mereka mengenai kepalaku.  Untung Cuma kertas.  Tapi itu ternyata membuat emosiku terpancing.  Spontan aku berdiri.  Kupandangi mereka dengan kesal.  Serentetan kalimat nasehat sudah ada di ujung lidahku.  Dua tanduk runcing yang tak terlihat saat aku kesal mulai tumbuh di kepala.  Sederet penyesalan atas perilaku mereka memenuhi otakku.  Kenapa mereka bermain di dalam kelas.  Kenapa pula bermain dengan suara gaduh.  Apalagi  kepalalu menjadi sasaran tendangan mereka.  Harusnya mereka bisa tenang dan menghormati guru mereka.  Ini sungguh tak sopan dan keterlaluan.  Hhhhh... L
                Aku bangkit dan berjalan menghampiri kerumunan yang kini terdiam kaget.  Ada ketakutan yang terpancar di mata mereka.  Pasti Miss Titin marah sekali.  Bayangkan, bola itu mendarat di kepala Miss Titin. 
Kuedarkan pandangan ke setiap murid yang bermain bola itu.  Beberapa di antara mereka menunduk takut.  Beberapa pasang mata menatapku  kaget.  Dan sisanya, jauh lebih banyak, menatapku penuh harap pembebasan dan mohon pemakluman.  .  Pliss Miss.  Begitu mungkin isyarat yang tersirat.  Beri kami waktu untuk bergembira.  Kami lelah.  Kami capek.  Boleh ya kami sedikit bersenang-senang.  Jangan marahi kami Miss.  Plisss...  L
                Aku luruh dalam rasa iba.  Hingga beberapa detik kemudian kuubah rencana.  Awalnya aku akan memberikan funishment pada mereka untuk membersihkan kelas.  Namun aku tak tega melihat lelah di wajah mereka.  Aku membayangkan andai aku ada di posisi mereka saat itu.  Akhirnya, alih-alih memberikan hukumanaku malah berbalik haluan.   “Ayo, kita main futsal di lorong... Tapi, Bu Titin ikut yaaa...”
Sontak belasan murid perempuanku mendongak kaget.  Raut mereka menunjukkan tanda rasa tak percaya.  “Cius Miss?  Emang Miss Titin bisa   main bola?”  Roman riang dan  binar mata penuh keceriaan kini mengembang lebar.
“Eeeey, jangan salah yaa... Bu Titin dulu anggota team futsal sekolah loh...”  Jawabku sedikit hiperbolik J.   “ Yeeee, horeeee. Ayo Miss kita ke luar.”  Antusias mereka menyambut ajakanku.  Berjingkrakan ke luar menuju lorong yang berada tepat di depan kelas kami.  Lalu sibuk memasang gawang dari sepatu yang disusun sedemikian rupa.
                Akhirnya kami bermain di lorong lantai 3  sekolah.  Menendang.  Menggiring. Berlari.  Berseru.  Berteriak.  Tertawa bersama.  Tak kupedulikan beberapa guru yang memandangku heran bahkan geli.  Tak kupedulikan beberapa murid kelas lain di lantai 3 juga yang diam-diam melaporkan kelakuan kami yang berisik.  Ah,  sesekali hidup harus dinikmati.  Tak perlu ada aturan yang mengikat.  Toh kelas lain juga sibuk dengan kegiatan masing-masing.  Tak belajar.  Heheeeee.
                Kegiatan kami berhenti saat waktu shalat dzuhur tiba.  Keringat mengucur di dahi dan tubuh.  Degub jantung kami berdetak lebih kencang dari biasa.  Kami tak peduli.  Kami gembira.  Kami bahagia.  Terutama aku.  Setelah sekian lama tak menikmati kegembiraan serupa ini.  Kegembiraan bisa menemani murid-muridku bermain bola, seperti yang pernah aku lakukan beberapa tahun lalu.  Menikmati tawa ceria muridku.  Seruan-seruan mereka saat memujiku betapa lihainya bu Titin menggiring bola.  Dan akhirnya menciptakan Gooolll!!!
                Ya, hari itu aku mendapatkan pengalaman baru lain dalam dunia mengajarku.  Betapa anak-anak merindukan kebersamaan bersama orang tua mereka.  Bersama guru-guru mereka.  Mereka rindu berlari, melompat, teriak, tertawa, mengekspresikan seluruh kebahagiaan bersama orang yang mereka anggap dekat dengan mereka.  Tak melulu mengajari mereka, menasehati mereka, menyuruh mereka, mengarahkan ini dan itu. 
Subhanallaah.  Alhamdulillaah.  Trima kasih ya Allah, hari itu rasa pusingku lenyap.  Setelah aku mampu menciptakan gol dan gol ke gawang yang dijaga ketat murid-muridku.  Bukan untuk menunjukkan kehebatanku sebagai seorang guru di hadapan murid-muridnya.  Tapi lebih pada keindahan atas kebersamaan yang kami bangun.
                Terima kasih anak-anakku, murid-murid kelas 4 yang bu Titin sayangi.  Semoga kebersamaan itu akan kita kenang hingga nanti.  Jadikan kenangan itu sebagai bagian pelajaran kehidupan di saat dewasa kalian.  Bahwa hidup membutuhkan jeda waktu untuk melangkah lebih jauh.  Hidup butuh jeda waktu untuk rehat sejenak dan berfikir, bagaimana cara menciptakan gol indah dan cantik dalam kehidupan.  Maka ciptakanlah GOL- GOL  kalian nanti.  Gol-gol indah untuk diri kalian, untuk ayah bunda kalian, untuk saudara dan sahabat kalian.  Untuk masyarakat.  Untuk ummat dan bangsa ini.  Selamat berkarya, bu Titin akan selalu berdoa untuk keberhasilan kalian.  J  (Karawang, 15 Oktober 2017.  Untuk murid-muridku tersayang, kelas 4 Madinah SDI Al Azhar 41 Karawang)
                 

                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar