Sabtu, 10 Mei 2014

Seandainya Ini Aku....



Bu Ika dan Gerimis


(Ditulis oleh : Titin Supriatin, S.P)
            Alunan lagu anak-anak mulai bergema.  Memenuhi lorong-lorong kelas dan ruang kantor sekolahku.  Menandakan waktu istirahat kedua sudah dimulai.  Berhamburanlah murid-murid dari ruang kelas dan musholla.  Girang berlarian di halaman sekolah yang licin, bercat hijau dan oranye.  Mereka baru usai melaksanakan shalat dzuhur berjamaah.
            Udara pukul 12.30 siang itu terasa basah dan sejuk.  Langit berkelir abu-abu pekat, jenuh dengan sekumpulan gumpalan-gumpalan awan hitam yang berarak.  Tak berapa lama, titik-titik hujan jatuh menimpa gedung sekolah, pohon-pohon dan semua yang ada di bawahnya.  Murid-murid semakin riang berloncatan menyambut gerimis.  Sedangkan angin menerbangkan rambut dan kerudung mereka, seakan ikut bersuka cita.  Ah, sungguh hari yang teramat manis!
            Mataku mengerjap basah.  Kutatap pentas kecil itu dari balik kaca jendela kelas di lantai 2 ini dengan haru.  Sesosok anggun, lembut dan cantik membayang dari jendela kaca, mengusik lamunanku  .  Lima belas tahun yang lalu kami sering berdiri bersisian di sini.
            “Bu Guru suka sekali saat gerimis seperti ini.  Gerimis itu sejuk dan menyenangkan.”  Kata sosok itu dengan suara khasnya yang merdu.
            “Kenapa Bu Guru suka pada gerimis?  Uhm… pasti karena gerimis itu dingin dan basah ya?”  Tanyaku sekaligus mengomentari dengan sok tahu.
            “Uhm, entahlah.  Yang jelas gerimis itu indah.  Ibu jadi merasa damai, merasa lebih dekat dan lebih mengenal Sang Pencipta.”
            “Ih, Ibu puitis sekali sih.  Kata mamaku, orang puitis itu hatinya lembut dan suka menyendiri.”
            “Ha…ha…ha.  Kamu ini ada-ada saja Ara!  Siapa bilang ibu suka menyendiri?”
            “Buktinya, aku lihat dari tadi Ibu berdiri terus di sini.  Pasti sedang merenung atau mencari ide untuk membuat puisi.  Betul kan?”  Godaku lagi.
            “Ha…ha..ha…”  Lagi-lagi Bu guru tertawa, “Sok tahu ah kamu!”  Bu guru mencubit pipiku gemas.  Lalu memelukku hangat.  Kami tertawa bersama.  Larut dalam kebersamaan yang indah.  Menikmati gerimis dan serunya murid-murid yang berlarian di bawah sana.
            Begitulah adanya Bu Ika.  Wali kelasku yang cantik, baik hati,  pandai membuat puisi dan menulis cerita.  Beliau sangat dekat dengan murid-murid.  Termasuk aku tentunya.  Pada jam-jam istirahat seperti ini, beliau sering melewatinya dengan bermain, bercanda atau sekedar mengobrol dengan kami.  Kami semua menyayanginya.  Kami selalu merasa terhibur berada di dekatnya.
            Satu sore, sebelum bel pelajaran terakhir berbunyi, langit mendadak gelap dan angin bertiup kencang.  Menimbulkan bunyi derak pada dahan, ranting pohon dan benda-benda yang terbuat dari seng.  Tak berapa lama hujan turun rintik-rintik, lalu turun semakin membesar.  Aku melihat Bu Ika berjalan menghampiri jendela kelas.  Seperti biasa, matanya sendu melihat ke luar sana.  Entah apa yang menarik perhatiannya.
            Diam-diam aku menghampirinya.  Kulihat matanya berkaca-kaca.  “Bu Ika kenapa?  Pasti dapat ide puisi baru lagi ya…”  Sapaku sambil memeluk lengannya manja.  Bu Ika terkejut melihatku.  Lalu Beliau menggelengkan kepala.
            “Ah, kamu Ara.  Tidak sayang, Bu Ika tidak apa-apa.”  Jawab Bu Ika.  Bibirnya memaksakan sepotong senyum.
            “Tapi, kenapa Bu Ika menangis?”  Bisikku sambil menatap matanya yang mulai basah.
            “Tidak anakku.  Bu Ika cuma ingin memandangi gerimis saja.  Indah sekali sekolah kita saat disiram gerimis seperti ini.  Ibu senang memandanginya lama-lama.”  Bu Ika kembali menerawang pemandangan di luar kelas yang kini sempurna basah dan penuh garis hujan.
            Kami terdiam.  Sibuk menikmati  hujan yang tetesannya mulai menumbuhkan embun di kaca jendela.
            “Pastinya, ibu akan merindukan tempat ini satu hari nanti.  Merindukan sekolah kita yang basah berselimut hujan.  Juga merindukan kalian.”  Bisik Bu Ika tersendat, tanpa menolehku.
            “Memangnya kenapa?  Ibu mau ke mana?  Kok bicaranya seperti orang yang mau pergi jauh saja?”  Tanyaku curiga.
            “Haha… Ara.  Selalu ingin tahu!  Sudahlah, Ibu cuma bercanda.  Lagi pula, betul kata kamu.  Ibu memang melankolis.  Kamu tahu melankolis itu apa?  Ya itu deh, suka cepat sedih dan terlalu perasa.  Suka berkata yang indah dan kadang aneh juga.”  Bu Ika tertawa geli.  Namun aku sempat menangkap sinyal duka di matanya.  Ah, ada apa dengan Bu Ika?
            Rasa penasaranku akan sikap Bu Ika terus bertahan.  Aku jadi lebih sering memperhatikan Beliau.  Memang ada yang aneh akhir-akhir ini.  Bu Ika lebih pendiam.  Sering berdiri sendirian di bibir jendela kelas kami.  Memandang ke luar dengan tatapan sendu.  Lalu menarik nafas panjang.  Kadang menghapus mata dengan ujung kerudungnya.  Tapi Bu Ika tetap bisa tertawa dan bercanda saat bersama kami.
            Sebulan kemudian, kami jarang melihat Bu Ika di sekolah.  Dalam seminggu, Bu Ika hanya masuk 2-3 hari.  Bahkan pada bulan berikutnya Bu Ika tak pernah masuk ke kelas lagi.  Menurut khabar, Bu Ika dirawat di rumah sakit.  Bu Ika menderita penyakit parah.  Kami sedih sekali.  Kami menjenguknya di rumah sakit.  Badan Bu Ika kurus dan teramat lemah.  Aku tak dapat menyembunyikan tangisku di hadapan Bu Ika.  Aku membisikkan doa di telinga Bu Ika, agar Bu Ika cepat sembuh.  Aku rindu melihat gerimis dan hujan bersamanya.
            Bu Ika hanya mampu tersenyum.  Air matanya meleleh membasahi pipinya yang semakin tirus.  Bu Ika menggenggam tanganku dan berbisik lirih sekali, hampir tak terdengar.
            “Jangan bersedih Ara.  Doakan yang terbaik untuk Bu Ika.  Ingat percakapan kita dulu?  Ibu pasti akan selalu merindukan kalian.  Kalau ibu pergi, berjanjilah untuk menjadi anak yang shaleh.  Anak yang berguna dan membanggakan orang tua dan masyarakat.”
            Kata-kata Bu Ika selalu terngiang di telingaku.  Wajahnya yang menahan sakit, namun mencoba untuk tetap tersenyum terus bermain di mataku.  Kami sangat kehilangan.  Sepi rasanya kelas tanpa Bu Ika.  Tak ada lagi yang bersenandung merdu saat kelas hening.  Tak ada lagi yang menceritakan dongeng lengkap dengan mimic dan suara yang hidup.  Tak ada lagi guru yang bisa kami ajak main petak umpet di kelas.  Tak ada lagi yang membetulkan kerudung atau memotong kuku kami.  Tapi aku berharap Bu Ika akan sembuh dan kembali mengajar kami.
Namun sore itu, aku mendengar khabar lewat pengeras suara sekolah, bahwa Bu Ika telah berpulang ke Rahmatullah.  Bu Ika pergi untuk selama-lamanya.  Bu Ika meninggal dunia, akibat penyakit gagal ginjalnya.  Innalillahi wa inna ilaihi Rojiun.  Aku dan hampir semua warga sekolah tak dapat menahan air mata.  Kami menangis. 
Gerimis mengiringi kepergian Bu Ika.  Aku terisak di bibir jendela kelasku.  Memandangi gerimis yang mengguyur bangunan dan pohon-pohon sekolahku.  Tak rela rasanya Bu Ika pergi secepat itu. 
Sampai hari ini pun, aku merasa Bu Ika masih ada di sini, di bingkai kaca jendela kelas ini.  Berdiri memandangi gerimis  bersamaku.  Walaupun Bu Ika sudah tak ada, Beliau akan tetap hidup di hatiku.  Menginspirasi hari-hari masa depanku, seperti nasehatnya padaku dulu.
“Bu Ara, kenapa masih termenung di sini?  Bel masuk sudah dari tadi berbunyi loh Bu.”
Seseorang menegurku dari belakang.  Ah, rupanya Azzam!  Muridku yang paling perhatian pada guru.  Aku tersenyum padanya.  Kulambaikan tangan memintanya mendekat.
“Kemarilah Azzam, Bu Ara sedang menikmati gerimis yang indah itu.  Lihatlah… sini!”
Azzam menghampiriku.  Matanya takjub memandang sekeliling di luar kelas sana.  Basah oleh air.  Bayangan Bu Ika berkelebat.  Tersenyum padaku.  Ah, terima kasih Bu Ika.  Kenangan bersamamu begitu indah.  Seindah gerimis siang ini.@


Tidak ada komentar:

Posting Komentar