Bu Ika dan Gerimis
(Ditulis oleh : Titin Supriatin, S.P)
Alunan lagu anak-anak mulai
bergema. Memenuhi lorong-lorong kelas
dan ruang kantor sekolahku. Menandakan
waktu istirahat kedua sudah dimulai. Berhamburanlah
murid-murid dari ruang kelas dan musholla.
Girang berlarian di halaman sekolah yang licin, bercat hijau dan
oranye. Mereka baru usai melaksanakan
shalat dzuhur berjamaah.
Udara pukul 12.30 siang itu terasa
basah dan sejuk. Langit berkelir abu-abu
pekat, jenuh dengan sekumpulan gumpalan-gumpalan awan hitam yang berarak. Tak berapa lama, titik-titik hujan jatuh
menimpa gedung sekolah, pohon-pohon dan semua yang ada di bawahnya. Murid-murid semakin riang berloncatan
menyambut gerimis. Sedangkan angin
menerbangkan rambut dan kerudung mereka, seakan ikut bersuka cita. Ah, sungguh hari yang teramat manis!
Mataku mengerjap basah. Kutatap pentas kecil itu dari balik kaca
jendela kelas di lantai 2 ini dengan haru.
Sesosok anggun, lembut dan cantik membayang dari jendela kaca, mengusik
lamunanku . Lima belas tahun yang lalu kami sering berdiri
bersisian di sini.
“Bu Guru suka sekali saat gerimis
seperti ini. Gerimis itu sejuk dan
menyenangkan.” Kata sosok itu dengan
suara khasnya yang merdu.
“Kenapa Bu Guru suka pada
gerimis? Uhm… pasti karena gerimis itu
dingin dan basah ya?” Tanyaku sekaligus
mengomentari dengan sok tahu.
“Uhm, entahlah. Yang jelas gerimis itu indah. Ibu jadi merasa damai, merasa lebih dekat dan
lebih mengenal Sang Pencipta.”
“Ih, Ibu puitis sekali sih. Kata mamaku, orang puitis itu hatinya lembut
dan suka menyendiri.”
“Ha…ha…ha. Kamu ini ada-ada saja Ara! Siapa bilang ibu suka menyendiri?”
“Buktinya, aku lihat dari tadi Ibu
berdiri terus di sini. Pasti sedang
merenung atau mencari ide untuk membuat puisi.
Betul kan?” Godaku lagi.
“Ha…ha..ha…” Lagi-lagi Bu guru tertawa, “Sok tahu ah
kamu!” Bu guru mencubit pipiku
gemas. Lalu memelukku hangat. Kami tertawa bersama. Larut dalam kebersamaan yang indah. Menikmati gerimis dan serunya murid-murid
yang berlarian di bawah sana.
Begitulah adanya Bu Ika. Wali kelasku yang cantik, baik hati, pandai membuat puisi dan menulis cerita. Beliau sangat dekat dengan murid-murid. Termasuk aku tentunya. Pada jam-jam istirahat seperti ini, beliau
sering melewatinya dengan bermain, bercanda atau sekedar mengobrol dengan
kami. Kami semua menyayanginya. Kami selalu merasa terhibur berada di
dekatnya.
Satu sore, sebelum bel pelajaran
terakhir berbunyi, langit mendadak gelap dan angin bertiup kencang. Menimbulkan bunyi derak pada dahan, ranting
pohon dan benda-benda yang terbuat dari seng.
Tak berapa lama hujan turun rintik-rintik, lalu turun semakin membesar. Aku melihat Bu Ika berjalan menghampiri
jendela kelas. Seperti biasa, matanya
sendu melihat ke luar sana. Entah apa
yang menarik perhatiannya.
Diam-diam aku menghampirinya. Kulihat matanya berkaca-kaca. “Bu Ika kenapa? Pasti dapat ide puisi baru lagi ya…” Sapaku sambil memeluk lengannya manja. Bu Ika terkejut melihatku. Lalu Beliau menggelengkan kepala.
“Ah, kamu Ara. Tidak sayang, Bu Ika tidak apa-apa.” Jawab Bu Ika.
Bibirnya memaksakan sepotong senyum.
“Tapi, kenapa Bu Ika menangis?” Bisikku sambil menatap matanya yang mulai
basah.
“Tidak anakku. Bu Ika cuma ingin memandangi gerimis
saja. Indah sekali sekolah kita saat
disiram gerimis seperti ini. Ibu senang
memandanginya lama-lama.” Bu Ika kembali
menerawang pemandangan di luar kelas yang kini sempurna basah dan penuh garis
hujan.
Kami terdiam. Sibuk menikmati hujan yang tetesannya mulai menumbuhkan embun
di kaca jendela.
“Pastinya, ibu akan merindukan
tempat ini satu hari nanti. Merindukan
sekolah kita yang basah berselimut hujan.
Juga merindukan kalian.” Bisik Bu
Ika tersendat, tanpa menolehku.
“Memangnya kenapa? Ibu mau ke mana? Kok bicaranya seperti orang yang mau pergi
jauh saja?” Tanyaku curiga.
“Haha… Ara. Selalu ingin tahu! Sudahlah, Ibu cuma bercanda. Lagi pula, betul kata kamu. Ibu memang melankolis. Kamu tahu melankolis itu apa? Ya itu deh,
suka cepat sedih dan terlalu perasa. Suka
berkata yang indah dan kadang aneh juga.”
Bu Ika tertawa geli. Namun aku
sempat menangkap sinyal duka di matanya.
Ah, ada apa dengan Bu Ika?
Rasa penasaranku akan sikap Bu Ika
terus bertahan. Aku jadi lebih sering
memperhatikan Beliau. Memang ada yang
aneh akhir-akhir ini. Bu Ika lebih
pendiam. Sering berdiri sendirian di
bibir jendela kelas kami. Memandang ke
luar dengan tatapan sendu. Lalu menarik
nafas panjang. Kadang menghapus mata dengan
ujung kerudungnya. Tapi Bu Ika tetap
bisa tertawa dan bercanda saat bersama kami.
Sebulan kemudian, kami jarang
melihat Bu Ika di sekolah. Dalam
seminggu, Bu Ika hanya masuk 2-3 hari.
Bahkan pada bulan berikutnya Bu Ika tak pernah masuk ke kelas lagi. Menurut khabar, Bu Ika dirawat di rumah
sakit. Bu Ika menderita penyakit
parah. Kami sedih sekali. Kami menjenguknya di rumah sakit. Badan Bu Ika kurus dan teramat lemah. Aku tak dapat menyembunyikan tangisku di
hadapan Bu Ika. Aku membisikkan doa di
telinga Bu Ika, agar Bu Ika cepat sembuh.
Aku rindu melihat gerimis dan hujan bersamanya.
Bu Ika hanya mampu tersenyum. Air matanya meleleh membasahi pipinya yang
semakin tirus. Bu Ika menggenggam
tanganku dan berbisik lirih sekali, hampir tak terdengar.
“Jangan bersedih Ara. Doakan yang terbaik untuk Bu Ika. Ingat percakapan kita dulu? Ibu pasti akan selalu merindukan kalian. Kalau ibu pergi, berjanjilah untuk menjadi
anak yang shaleh. Anak yang berguna dan
membanggakan orang tua dan masyarakat.”
Kata-kata Bu Ika selalu terngiang di
telingaku. Wajahnya yang menahan sakit,
namun mencoba untuk tetap tersenyum terus bermain di mataku. Kami sangat kehilangan. Sepi rasanya kelas tanpa Bu Ika. Tak ada lagi yang bersenandung merdu saat
kelas hening. Tak ada lagi yang menceritakan
dongeng lengkap dengan mimic dan suara yang hidup. Tak ada lagi guru yang bisa kami ajak main
petak umpet di kelas. Tak ada lagi yang
membetulkan kerudung atau memotong kuku kami.
Tapi aku berharap Bu Ika akan sembuh dan kembali mengajar kami.
Namun
sore itu, aku mendengar khabar lewat pengeras suara sekolah, bahwa Bu Ika telah
berpulang ke Rahmatullah. Bu Ika pergi
untuk selama-lamanya. Bu Ika meninggal
dunia, akibat penyakit gagal ginjalnya.
Innalillahi wa inna ilaihi Rojiun.
Aku dan hampir semua warga sekolah tak dapat menahan air mata. Kami menangis.
Gerimis
mengiringi kepergian Bu Ika. Aku terisak
di bibir jendela kelasku. Memandangi
gerimis yang mengguyur bangunan dan pohon-pohon sekolahku. Tak rela rasanya Bu Ika pergi secepat
itu.
Sampai
hari ini pun, aku merasa Bu Ika masih ada di sini, di bingkai kaca jendela
kelas ini. Berdiri memandangi gerimis bersamaku.
Walaupun Bu Ika sudah tak ada, Beliau akan tetap hidup di hatiku. Menginspirasi hari-hari masa depanku, seperti
nasehatnya padaku dulu.
“Bu
Ara, kenapa masih termenung di sini? Bel
masuk sudah dari tadi berbunyi loh Bu.”
Seseorang
menegurku dari belakang. Ah, rupanya Azzam! Muridku yang paling perhatian pada guru. Aku tersenyum padanya. Kulambaikan tangan memintanya mendekat.
“Kemarilah
Azzam, Bu Ara sedang menikmati gerimis yang indah itu. Lihatlah… sini!”
Azzam
menghampiriku. Matanya takjub memandang
sekeliling di luar kelas sana. Basah
oleh air. Bayangan Bu Ika
berkelebat. Tersenyum padaku. Ah, terima kasih Bu Ika. Kenangan bersamamu begitu indah. Seindah gerimis siang ini.@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar