Jumat, 16 Mei 2014

yang terjatuh, tak berarti menjadi abu...



MANG DAAN VERSUS BRIPTU AHMAD
(Catatan kecil : Titin Supriatin, S.P)

Sahabat,

Aku pernah bercerita tentang Mang Daan di blog dan bukuku beberapa waktu lalu.  Sebagai review, Mang Daan adalah seorang tukang sol sepatu dan tukang gambar.  Beliau hidup pada masa kanak hingga remajaku.  Aku terinspirasi oleh keikhlasan beliau dalam menjalani hidup.  Dalam kesederhanaan dan keterbatasan hidup, Mang Daan masih bisa berbagi pada orang yang membutuhkan.  Terutama pada anak-anak sekolah yang meminta pertolongan atau bantuannya.  Mengesolkan sepatu, menjahitkan tas robek atau sekedar meminta digambarkan sebuah lukisan yang harus dikumpulkan sebagai tugas rumah.

Kalian tahu, apa yang mampu membuat kelopak mataku membasah jika teringatnya?  Mang Daan tak pernah mematok berapa besar uang jasa yang harus kami keluarkan untuk membayar tenaga beliau.  Dengan penuh senyum beliau menerima berapa pun uang yang kami beri.  Bahkan acapkali beliau mengGRATISkan biaya jasa mengesol sepatu atau menggambar saat kami tak punya uang untuk membayar.  Dengan suara halus dan tatap penuh kasih beliau mengatakan:"Sudahlah, tak usah membayar.  Kalau tak punya uang, tak mengapa.  Yang penting kamu bisa berangkat sekolah memakai sepatu, tidak dimarahi atau dihukum guru..."
Subhanallah... air mataku menitik, tak dapat membendung haru yang menggunung, jika mengingat sosok sederhana itu kembali.  Berseragam lusuh, bersepatu butut, menyandang tas yang talinya putus. Berjalan menunduk, bukan karena rendah diri.  Sama sekali tidak.  Mang Daan adalah sosok ramah, penuh canda dan tawa, membuat kami (terutama anak-anak dan para remaja) merasa betah berada di dekatnya.  Pula, beliau pandai bercerita tentang apa saja.  Cerita horror maupun jenaka.  Kami dibuat ternganga mengikuti berbagai kisah yang beliau bagikan.  Selalu menarik.  Apalagi saat bercerita tentang hal-hal yang lucu.  Kekehnya yang khas selalu mengiringi akhir kalimat.  Kami ikut tergelak geli bersamanya.  Beliau berjalan menunduk karena mata beliau yang hampir buta.  Namun keterbatasan ekonomi, membuat beliau terus bertahan mencari nafkah dengan apa yang beliau mampu, hingga ajal menjemput sepuluh tahun silam.

Sahabat,
Tentu kau bertanya, apa yang ingin kubagi pada kisah Mang Daan versus Briptu Ahmad ini?  Begini...
Beberapa waktu lewat, aku mengalami sebuah pengalaman pahit.  Pengalaman ini sungguh bertolak belakang dengan kisah Mang Daan yang telah aku ceritakan.  Pengalaman ini membuatku menunduk sedih.  Menekur bumi dan  bertanya pada tanah yang kupijak : Seperti inikah kondisi negeri tempatku berdiri…  Karena tak ada jawab, kutengadah menatap langit.  Menahan genangan air mata yang hampir meluruh.  Mungkin… memang inilah dunia yang sesungguhnya…
Sahabat, pasti kau semakin penasaran kan?  Baiklah, aku ceritakan saja semuanya pada kalian.  Agar sempit dada dan sesak jiwa bisa kubagi denganmu, walau kau jauh entah di mana. 
Cerita ini berkisah tentang seorang polisi bernama Briptu Ahmad (samaran lah).  Seorang polisi lalu lintas yang senja temaram  itu tengah bertugas menjaga lalu lintas di pertigaan pintu tol Bekasi timur.  Kawasan itu memang padat pada sore hingga malam hari.  Maklumlah, wilayah strategi para pekerja bermukim.  Hingga lalu lintas pulang kerja akan sangat padat.  Jalanan dipenuhi kendaraan beriringan, serupa semut raksasa berbaris rapi.  Kondisi itu melahirkan sebuah peraturan khusus bahwa di atas pukul 5 sore, angkutan umum serupa bis besar dan truk dilarang melintas di wilayah itu.

Cerita menjadi sebuah jalinan, karena hari itu sekolahku mengadakan acara outbond untuk siswa kelas 1 dan 2.  Dari jadwal kegiatan yang kami rancang, kami sudah bisa pastikan rombongan kami akan melintas di wilayah terlarang ini di atas pukul 5 petang, karena jarak yang cukup jauh dan kemacetan yang terjadi di jalan tol.  Sebagai antisipasi, jauh-jauh hari kami sudah mempersiapkan segala kemungkinan untuk mengatasi masalah yang akan ditimbulkan.  Dari mulai membuat surat ijin ke pihak yang berwenang (polres) bahkan sampai meminta tolong salah seorang bapak anggota kepolisian yang notabene orang tua murid sekolah kami, untuk mempermudah kami melintasi pintu tol yang tak jauh jaraknya dari lokasi sekolah kami.

Dengan dada berdebar, kami saling berkoordinasi antar PJ bus dan tentu saja aku sebagai bendahara kegiatan.  Loh kok... apa hubungannya dengan bendahara?  Ya untuk jaga-jaga kalau akhirnya "JALAN DAMAI" yang harus kami tempuh... (Sambil nyengir kuda saat menulis ini, prihatin rek...).  Akhirnya drama itu pun dimulai.  Seorang teman sudah mengontak orang tua murid yang polisi itu.  Beliau berjanji untuk mengontak temannya yang sore itu bertugas di lapangan.  Tiba di wilayah terlarang, dua orang guru turun dan mencoba berdialog untuk ijin menyeberang ke lokasi sekolah kami berada.  Sekali lagi, JUST CROSSING loh... karena sekolah kami ada di pinggir jalan tol.  Bayangkan!  Hanya menyeberang!

"Maaf Pak, kami dari SDIT baru pulang dari kegiatan outbond, bisa melintas sebentar ya Pak..." Begitu kira-kira temanku berdialog, didampingi seorang bu guru yang mendapat amanah dari polisi orang tua murid, siapa tahu pesan untuk mengijinkan melintas sudah disampaikan.
"Anda sudah tahu peraturannya, kok masih lewat sini juga!"  Tegur si Briptu Ahmad ini.
"Betul Pak, kami sudah tahu, tapi bagaimana lagi ya... kami memang harus melintasi jalan ini.  Kami membawa murid-murid SD kelas 1 dan 2 Pak, kasihan kan...bisa kami ijin untuk lewat?"  Memelas bu guru temanku memperkuat, siapa tahu Briptu Ahmad luluh dengan kecantikan dan kelembutan seorang wanita (hehe… jurus semi pamungkas)
"Maaf, tidak bisa!  Harusnya anda memberitahukan ke kantor"  Si Briptu tambah galak.
"Kami sudah ijin ke kantor kok Pak.  Oh ya... Bapak sudah dapat telepon dari Pak Riko?"
"Siapa itu Pak Riko?  Dari kesatuan mana?  Ngga... saya belum dapat telepon dari siapa pun..."
"Oh, Pak Riko kan polisi juga Pak, katanya teman Bapak.  Anaknya ada dalam bus rombongan ini..."
"Maaf saya tak kenal Pak Riko... "
Dua orang temanku saling memberi isyarat.  Sementara riuh suara anak-anak yang gelisah dalam bus yang terjebak dalam antrian padat merayap terdengar sampai luar. 
"Baiklah Pak, kita terima salah.  Mohon terima ini... "  Temanku akhirnya merogoh saku dan mengeluarkan 2 lembar uang limapuluhribuan yang sudah disiapkan dari tadi lalu menyelipkannya ke tangan polisi itu.
"Ya sudah.  Silahkan jalan."  Jawab Briptu Ahmad sopan.  Nada galak yang tadi mengudara, berganti tutur kata yang sopan.

Puih!  Cerita yang menyedihkan ya... Setidaknya, bagiku begitu.  menohok hati dan jiwa.  Teramat.  Sangat.  Lebay dikit...  Tapi memang peristiwa itu membuatku termenung dan syok.  Bukan dari sisi nilai uang yang harus kami tukar dengan sebuah ijin sederhana.  Masalahnya begini sahabat...

Pertama, sebagai pengayom dan pelindung masyarakat, polisi seharusnya menjalankan tugasnya dengan hati nurani.  Sekolah adalah lembaga pendidikan.  Mencetak generasi penerus bangsa yang seharusnya didukung segala bentuk kegiatannya.  Bukan malah mengharap imbalan jasa, yang maaf, lebih mirip sebuah pemalakan.

Kedua , jujur, polisi adalah sosok idolaku.  Karena aku berasal dari keluarga polisi.  Ayah dan kakak sulungku adalah polisi.  Namun, sungguh berbeda orientasi polisi sekarang dengan masa ayahku masih hidup.  Beliau tak pernah melakukan hal seperti itu.  Memalak para pengguna jalan.  Malah sebaliknya ayahku saat bertugas menjadi polisi sangat kooperatif.  Tak pernah mau diberi uang lelah.  Beliau selalu mengatakan, ini sudah tugas saya.  Saya sudah mendapat gaji dari negara.  Silahkan Bapak/ibu gunakan uang ini untuk keperluan yang lain.  Ah,  sungguh aku kecewa.  Aku malu...

Ketiga, jarak dari jalan tol menuju sekolah kami hanya 100 merter.  Sedangkan jarak dari tol menuju jalan kecil seoklahku hanya 50 meter.  Masa dipersulit juga?  Hanya menyeberang sebentar... (sst… bunda, mau sedikit, sebentar kek, kan udah peraturan…).  [Betul sih, tapi kok rasanya… tegaaa gituh lo!]

Bukan hal yang "aneh" mendapati kasus-kasus serupa itu.  Banyak.  Tapi aku berharap, masih ada polisi-polisi lain berhati mulia dan menjalankan tugasnya dengan NURANI yang tulus.  Mengabdi dan melindungi masyarakat dari segala bentuk ketidakamanan.  Bukankah polisi juga manusia, punya orang tua, saudara, istri dan anak?  Andai mereka mengalami hal yang sama...

Sungguh, dua kisah yang bertolak belakang.  Antara Mang Daan tukang sol sepatu sederhana yang  peduli pada anak-anak.  Secara tidak langsung beliau telah berkontribusi pada dunia pendidikan.  Sementara Briptu Ahmad, seorang polisi yang dari sisi kedudukan dan martabat di masyarakat jauh lebih tinggi dan terhormat.  Namun tak menghiraukan bahkan "merecoki" dunia pendidikan dengan ketidakpedulian pada lembaga sekolah yang meminta perlindungan untuk memakai sedikit saja jalan... Bukan jalan nenek moyangnya, tapi jalan milik masyarakat!

Sebagai penutup, aku hanya berharap Briptu Ahmad ikut membaca tulisan ini.  Aku berharap, beliau belajar kepedulian pada Mang Daan yang tukang sol sepatu.  Jabatan dan pangkat mungkin berbeda di dunia.  Jabatan dan pangkat mungkin menjadikan seseorang lebih terhormat dibanding yang lain.  Namun Ingat Briptu Ahmad, semua itu tak ada artinya di mata Allah... (Bekasi, 16 Mei 2012.  Catatan kecil untuk dunia kepolisian.  Mohon maaf atas ketidaksopanan saya yang telah menuliskan semua ini…)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar