Bapak
Ingin …
(Writted by: Titin Supriatin, S.P)
Jam
dinding di kantorku menunjukkan pukul 16.00.
Saatnya aku mengakhiri kerja hari ini.
Segera kukemas tasku dan bergegas menuju pintu gerbang sekolah untuk
pulang. Dari jauh aku melihat titik
kecil benda bergerak mendekat ke arahku.
Perlahan titik itu membesar dan menunjukkan wujud yang makin jelas. Apalagi sesekali terdengar suara yang teramat
aku kenal dari benda bergerak itu, “Pu…
Sa..puuu “
Sebuah
ide mendadak muncul di kepalaku. Tukang
sapu keliling itu mengingatkanku.
Alat-alat kebersihan di rumah sudah tidak layak lagi untuk dipakai dan tentu saja layak untuk membeli
yang baru. Segera kudekati penjual sapu yang sedang meneriakkan dagangannya dengan
suara yang lantang : “Puuuu…. Sa puuuu…”
Penjual
sapu itu ternyata sudah sangat sepuh. Namun
badannya masih terlihat kekar dan kuat.
Kulitnya legam terbakar sinar matahari.
Sorot matanya tajam namun ramah.
Terseok-seok langkahnya menarik gerobak yang sarat dengan barang-barang
dagangan. Sapu, pengki, sapu lidi,
ember, bakul, dan lain-lain. Sebersit iba menyentuh hatiku. Ya Allah… aku nggak bisa membayangkan betapa
berat bapak ini membawa gerobaknya berkeliling
kampung menjajakan dagangannya dari rumah ke rumah. Beratnya beban yang dibawa mungkin tak akan
terasa jika hari itu hasil jualan yang didapat banyak. Tapi bagaimana kalau tak ada yang membeli
satu barang pun?
Lintasan
rasa empati membuatku tak berpikir dua kali. Transaksi jual beli pun
terjadi. Aku membeli beberapa barang
yang kuperlukan. Juga membeli
barang-barang yang sebetulnya tidak terlalu aku perlukan. Rasa iba tadi yang mendorongku untuk
melakukannya. Kemudian aku membayar
barang-barang yang kubeli,
“Ini Pak uangnya, jadi berapa semuanya?” Aku menyerahkan selembar uang limapuluh
ribuan.
“Waduh Neng, punten… nggak ada
kembaliannya. Bapak baru kaluar pisan…”
Jawab si Bapak dengan logat sunda yang kental.
“Oh, begitu ya Pak. Uhm… kumaha atuh, saya nggak punya uang pas
lagi.” Aku merasa tak enak juga untuk membatalkan,
“Ia Neng, Bapak baru
kaluar. Tadi pagi habis nganter anak
sekolah di pesantren. Jadi baru balik
tadi siang. Reureuh sakedap (istirahat sebentar, red.) terus baru Bapak jualan lagi. Jadi belum dapat uang, nih lihat… “ Si bapak
menjelaskan panjang lebar. Terakhir dia
membuka laci uangnya yang terletak menyatu di ujung gerobak. Cuma ada beberapa lembar ribuan dan beberapa
keping recehan. Rasa iba menyentuhku
kembali.
“Uhm… baik Bapak. Nggak apa-apa. Kebetulan rumah saya dekat dari sini. Kalau begitu kita ke rumah saya saja
dulu. Mudah-mudahan ada uang pas di
rumah.” Akhirnya aku mengajak si bapak
ke rumah yang hanya berjarak satu blok dari sekolah tempatku mengajar.
Si
bapak pun mengikutiku dari belakang.
Menyeret gerobaknya dengan penuh semangat. Sementara pikiranku mereview ulang percakapan
tadi. Si Bapak baru berjualan sesore
ini, apa ada yang masih mau beli? Padahal
baru keliling dua blok saja, pasti matahari sudah tenggelam di ujung barat
sana. Berapa uang yang bisa didapatnya
hari ini? Dan tadi, dia mengatakan
keterlambatannya karena harus mengantarkan anaknya masuk pesantren. Subhanallah…
“Bapak maaf, putra bapak di
sekolahkan di pesantren mana? Bukankah
di Bekasi banyak sekolah juga, gratis lagi Pak…” Aku bertanya penasaran.
“Eta Neng, di Subang. Bapak kan memang kawit (asal) na mah dari
Subang. Di sini cuma numpang cari
nafkah. Ah, siapa bilang gratis
Neng? Tatangga Bapak sekolah di negeri
juga ada saja bayarannya. Lagi pula
Bapak Ingin anak Bapak nggak Cuma pinter, tapi juga bisa ngaji. Ibadahnya rajin, otaknya juga cerdas. Biar kalo sudah dewasa nanti bisa jadi ustad. Jadi orang yang berguna untuk masarakat. Nggak seperti Bapak yang cuma keliling bawa
gerobak, capek… Bapak teh ingin pisan
Neng… biar lah bapak cari uang ke sana ke sini buat biaya anak-anak
sekolah. Biar mereka sekolah yang
tinggi… Da kerasa sama bapak, orang
bodoh teh nasibnya ya seperti Bapak ini…”
Jelas si Bapak di antara nafasnya yang tersengal menarik gerobak yang
berat. Penjelasannya yang panjang dan
lebar membuatku terpaku dalam keharuan.
Subhanallah. Lewat sosok tua nya yang sederhana. Lewat semangatnya yang tak lekang di sengat terik
sinar matahari dan terpaan debu jalanan. Lewat tatap mata yang optimis
memandang kehidupan masa depan. Lewat
langkah gagah menerjang badai kehidupan.
Lewat perkataan bijaknya yang mengandung harapan akan pencerahan negeri
ini. Aku bisa belajar 1 hal : MIMPI
(harapan).
Tentang
MIMPI, siapa pun tidak melarang untuk bermimpi.
Tidak akan ada seorang pun yang protes seindah apa kita ingin bermimpi. Mimpi itu gratis kok! Maka bermimpilah! Lukiskan impian indah tentang hari ini dan
esok. Karena kehidupan tidak hanya
berhenti sampai hari ini. Masih jauh dan
panjang perjalanan hidup kita ke depan.
Dengan adanya mimpi, kita punya harapan.
Kita punya cita-cita dan tujuan yang jelas. Kita juga jadi lebih terarah menjalankan
hidup. Untuk apa hidup dan ke mana kita bermuara
pada akhirnya.
Aku
masih tertegun berdiri di pintu gerbang rumahku. Bapak penjual sapu itu kembali menarik gerobak
dagangannya. Meneruskan perjalanan
pencarian nafkahnya hari itu yang belum tuntas.
Suaranya yang lantang terdengar semakin sayup menjauh dariku. Dan akhirnya tenggelam di ujung jalan
sana. Namun ada satu kalimat ucapannya
yang sampai detik aku menuliskan kisah ini masih terngiang : “Bapak ingin anak Bapak menjadi orang yang
pintar dan berguna untuk masyarakat Neng…”
Sebuah
kalimat harapan dari seorang ayah pada anaknya.
Harapan yang aku yakini juga dimiliki oleh para ayah di seluruh pelosok
penjuru dunia. Harapan yang membuat para
ayah bertahan untuk terus berusaha dan bekerja keras mencari nafkah. Menghidupi keluarga dan membiayai pendidikan
anak-anaknya sampai mereka mampu untuk mandiri dan berkarya.
Aku
menghela nafas panjang. Kalimat “Bapak ingin…” seolah ditujukan
untukku. Aku jadi teringat wajah para murid
kecilku. Bertanya dalam benak, apakah
mereka tahu dan mengerti apa yang diharapkan ayah dan ibu mereka? Apakah mereka ikut merasakan betapa ayah dan
ibu mereka bekerja keras untuk kenyamanan hidup anak-anaknya? Apakah… Ah, aku pikir tak penting untuk
menjawab pertanyaan itu. Yang harus aku
tekadkan dan catat dalam hati adalah : Jadilah motivator bagi murid-muridku, agar
mereka terpacu untuk menjadi yang terbaik dalam segala hal. Menjadi manusia yang punya manfaat bagi
orang-orang di sekitar. Membantu
mewujudkan harapan dan cita-cita mereka.
Juga harapan ayah dan ibu mereka. Mendidik dan mengajar putra dan putri yang
mereka amanahkan padaku. Semoga… aku
bisa penuhi harapan itu!!! Bismillah…
(Bekasi,
22 Oktober 2011 : untuk para ayah yang dengan ikhlas
berkorban demi putra/putrinya)
ahlak yg baik tentu saja dari arahan guru yang baik....
BalasHapusTapi kenapa kini makin marak ahlak yang korup..???
terimakasih atas tanggapannya. Untuk itulah buku saya hadir. Refleksi kekecewaan atas apa yg terjadi di dunia pendidikan kita sekarang. Guru sdh lebih "nyaman" dengan tunjangan2 yg diberikan pemerintah. Namun nyatanya kadang itu melenakan. Harusnya kesadaran diri yg kuat juga kedekatan pada Sang Pencipta mampu melahirkan guru yg berakhlak mulia. Tolong sahabatku... doakan (khususnya) bagi para guru, agar mereka kembali pada tujuan mulia semula, mendidik dengan teladan dan cinta...
Hapus